Rumah Bujang, Jati Diri Asmat

0
1189

Suku Asmat di Papua, dikenal dengan hasil ukirannya yang unik. Populasinya tersebar di pesisir pantai dan pedalaman. Mereka mempunyai cara hidup, struktur sosial dan ritual yang berbeda.

Beberapa kelompok menghuni perkampungan antara 100-1000 orang. Setiap kampung mempunyai satu rumah bujang yang dipakai untuk upacara adat, atau upacara keagamaan. Rumah dibangun di daerah kelokan sungai supaya dapat memantau serangan musuh.

Rumah bujang, atau biasa disebut Jew adalah sebuah bangunan dari kayu beratapkan daun sagu atau nipah. Bangunan ini luar biasa panjangnya. Bisa mencapai hingga 50-an meter dengan lebar belasan meter. Tidak ada paku atau pasak untuk mengokohkan rumah. Hanya tali rotan dan akar yang saling menghubungkan satu sama lainnya. Di dalamnya ada perapian, senjata tradisional berupa panah, tombak untuk berburu, juga barang yang dianggap keramat dan bertuah; Noken. Yakni benda berbentuk tas dibuat dari anyaman serat tumbuhan. Tidak sembarang orang boleh menyentuh benda ini.

 

Jew selalu didirikan menghadap ke arah sungai. Sebagai tiang penyangga utama rumah adat, digunakan kayu besi bermotif ukiran Asmat. Jumlah pintu Jew sama dengan tungku api dan patung Mbis (patung gambaran leluhur Orang Asmat). Jumlah pintu ini juga dianggap mencerminkan rumpun Suku Asmat yang berdiam di sekitar rumah adat.

Setelah pembangunan Jew selesai, para pria akan melakukan pesta selama semalaman. Menari dan menyanyi diiringi oleh suara pukulan alat musik tradisional Papua, Tifa. Dengan melakukan atraksi ini, orang Asmat percaya, roh para leluhur akan datang dan menjaga rumah mereka.

Jew dianggap sakral. Ada sejumlah aturan adat di dalamnya yang harus dipelajari dan dipahami oleh Orang Asmat sendiri, termasuk syarat membangun Jew. “Dulu, Jew dipakai untuk melakukan rapat dan ritual sebelum berperang, namun dalam perkembangannya, lebih bermanfaat untuk merencanakan pembangunan,” tutur Jhon Ohoiwirin, warga Asmat.

 

Bangunan Jew yang begitu kokoh menggambarkan persatuan, dan nilai kegotong-royongan masyarakat Asmat. Dinding Jew terbuat dari kayu dan sebagian dari anyaman daun sagu.

Tangganya terbuat dari rangkaian kayu bulat, panjangnya sama dengan ukuran rumah. Di depan Jew, terdapat dayung dan tombak berhiaskan bulu Burung Kaka Tua berwarnah putih. Benda ini melambangkan kemenangan. Oleh karena itu, Suku Asmat sangat percaya, apapun yang akan dikerjakan, entah berperang ataupun lainnya, jika telah melalui ritual di dalam Jew, pasti berhasil.

Mereka juga percaya, patung-patung didalam Jew akan menjaga rumah dari pengaruh jahat. Setelah Jew berdiri, para lelaki biasanya akan pergi berburu menggunakan perahu Chi untuk memenggal kepala musuh.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Rumah Bujang (Jew). Foto detik.com

 

Animisme

Suku Asmat berlatar belakang penganut animisme, sama seperti berbagai suku tradisional di seluruh dunia. Kepercayaan terhadap hal gaib berupa roh leluhur yang menjaga mereka, juga masih ada.

Kepercayaan itu dituangkan lewat keahlian membuat ukiran kayu tanpa sketsa. Mereka percaya, roh leluhur akan membimbing mereka untuk menyelesaikan patung ukiran. Nama patung yang menceritakan tentang arwah para leluhur, disebut Mbis.

Ukiran bagi Suku Asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. Di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang yang sarat dengan kebesaran Suku Asmat.

Bagi Orang Asmat, kala mengukir patung, itulah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yang ada di alam lain. Itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat Ow Capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu Ow Campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).

 

Pesta patung Mbis

Orang Asmat mengenal beberapa pesta adat, salah satunya Pesta patung Mbis. Pesta ini merupakan salah satu dari tiga pesta besar Suku Asmat yang dilakukan untuk mempertahankan keseimbangan. Pesta Patung Mbis dilakukan 4 tahun sekali setelah tetua adat yang adalah laki-laki bermusyawarah untuk menentukan hari baik.

Pesta dimulai dengan keberangkatan laki-laki ke tengah hutan untuk menebang pohon yang akarnya mencuat keluar. Akar yang mencuat ini merupakan simbol kepala lawan, yang sebelum pengayauan ditiadakan, mereka benar-benar harus memenggal kepala lawan. Pohon-pohon ini akan diukir oleh para pemuda (yang belum menikah). Setelah batang kayu ditebang hingga sore hari, selanjutnya diangkut ke kampung.

Sementara itu, perempuan mesti memangkur, meramah, dan mengolah sagu dalam jumlah besar untuk dijadikan hidangan pesta.  Ketika sore tiba, sebelum kembalinya para suami dari menebang pohon, perempuan sudah bersiap di tepi sungai. Mereka menyambut kedatangan para suami dengan menggenggam senjata tajam seperti pisau, parang, tulang kasuari, panah, dan tombak. Hari itu dianggap istimewa untuk membalas kekerasan yang telah dilakukan laki-laki dalam rumah tangga.

 

Sebelum saling mengejar, pihak laki-laki terlebih dahulu melontarkan caci maki untuk memancing kemarahan. Setelah itu perempuan akan mulai menyerang tanpa laki-laki boleh membalas. Perempuan akan memukul para suami, namun tidak boleh melebihi tindak kekerasan yang telah dilakukan suami. Ketika hari mulai gelap, maka pembalasan para istri ini dihentikan. Luka-luka suami dibalut, lalu diteruskan dengan pesta di rumah bujang. Pesta akan berlangsung selama kurang lebih tiga bulan.

 

Jadi, tiap hari selama tiga bulan itu, mulai petang hingga malam tiba, masyarakat Asmat mengupayakan keseimbangan. Keseimbangan tersebut dipandang tercapai ketika para istri menyiapkan makanan, para suami menebang pohon yang akarnya mencuat, dan para pengukir mengukir di rumah bujang tanpa boleh dilihat oleh siapapun kecuali tetua adat. Keseimbangan itu juga dicapai saat perempuan membalas kekerasan suaminya selama ini terhadap mereka. Selain itu, keseimbangan juga dicapai pada puncak pesta di malam sebelum pesta patung Mbis berakhir.

 

Puncak pesta itu sering disebut sebagai pesta setan, yang dilakukan setelah patung-patung selesai diukir dan siap ditanam di muka rumah bujang keesokan harinya. Setan itu merupakan perwujudan dari roh nenek moyang yang turun dan ikut menari di rumah bujang semalam suntuk. Roh itu sebenarnya adalah tetua adat yang mengenakan pakaian setan. Dalam pesta setan, biasanya tetua adat akan menari terus mengikuti irama tabuhan tifa hingga mengalami kesurupan (trance). (JO/dari berbagai sumber)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here