JERATPAPUA.ORG,JAYAPURA – Masyarakat Adat Kampung Nendali Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura , mempertanyakan sikap pihak-pihak terkait, adanya kejahatan lingkungan yang di lakukan akibat penimbunan dan penghilangan Hutan sagu di bibir danau di wilayah jalan alternative Nendali- Yabaso.
Hal itu di pertegas Oleh keodoafian Rukhu Neai Walineai Kampung Nendali Pada kesempatan kepada wartawan saat jumpa pers di Obhe Ondofolo Kampung Nendali Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura. Pihak adat mempertanyakan kasus pembabatan hutan sagu serta penimbunan hingga masuk ke pinggiran danau sentani dengan total lokasi mencapai 4 hektar lebih.
Ondofolo Kampung Nendali Yan Piet Wally mempertanyakan sikap tegas pihak-pihak terkait dengan rusaknya hutan sagu dan kejahatan agraria yang di lakukan oleh oknum-oknum tertentu dengan memanfaatkan situasi Pond an pengerjaan jalan alternative Nendali –Yabaso sehingga seluruh lokasi yang masuk area adat nendali di babat termasuk hutan sagu tampa sepengetahuan Masyarakat adat sebagai pemilik ulayat.
“kami sama sekali tidak tahu , bahwa lokasi itu dialihkan , bahkan status tanah di keluarkan sertifikat tampa sepengetahuan kami “tegas Ondofolo Nendali Yan Piet Wally senin, (17/7/2023).
Yan Piet Wally selaku ondofolo Kampung Nendali melihat bahwa kerusakan ini merupakan sesuatu yang luar biasa,selain ada kejahatan Agraria yang di lakukan oleh oknum mafia , tetapi juga kejahatan lingkungan sehingga ini berdampak kepada kehidupan masyarakat kampung nendali kesulitan untuk mendapatkan ikan di air akibat rusak dan hilangnya habitat asli mereka .
“dari pengamatan saya itu sangat parah , saya memberanikan diri untuk menggugat status tanah tersebut “ kata Ondofolo Nendali Yan Piet Wally.
Status gugatan yang di layangkan oleh Ondofolo Nendali Dalam Perkara No. 229/Pdt.G/2022/PN Jap Pada Pengadilan Negeri Klas lA Jayapura status yang di putuskan pengadilan bahwa tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).
Dalam gugatan akibat terjadinya kerusakan lingkungan hidup pada wilayah hukum adat di Kampung Nendali sebagai akibat perubahan dan/atau kerusakan karena penimbunan material batuan, dengan luas 64.060 M2 (enam puluh empat ribu enam puluh meter persegi) atau 6,406 Ha (enam koma empat ratus enam hektar), vide Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup“Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.Ujar Kuasa Hukum Masyarakat Adat Nendali Elisabeth Makagiansar, SH
Lanjut Elisabeth Makagiansar, SH luasan tanah a quo 64.060 M2 (enam puluh empat ribu enam puluh meter persegi) telah dilepaskan oleh 4 orang tersebut masing-masing sebesar 7.500 M2, 5.000 M2, 5.000 M2 dan 5.000 M2 pada 18 April 2018, sehingga berjumlah 22.500 M2 dan telah diterbitkan sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) “ pdahal Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2015 tanggal 20 Mei 2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, “ Sempadan danau hanya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan tertentu dan bangunan tertentu “ tuturnya.
Terbukti dalam semua dokumen yang di keluarkan oleh Masyarakat Adat Nendali bahwa lokasi tanah seluar 6,4 hektar masih berstatus sebagai tanah adat
Kuasa Hukum Masyarakat Adat Nendali Elisabeth Makagiansar, SH menyayangkan sikap hakim pengadilan Negeri Jayapura, yang tidak mengindahkan semua bukti yang di layangkan oleh penggugat sehingga status perkara dari tanah adat dan kerusakan lingkungan yang di snegketakan satusnya masih bergantung untuk di sampaikan gugutan ulang. (nesta )