Keerom, – Jika kita pergi ke daerah Arso, maka terdapat sebuah pasar yakni Pasar Arso Kota yang buka setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu . Ketiga hari tersebut oleh masyarakat disebut hari pasar. Pasar Arso Kota dibangun sejak tahun 1990-an, namun hingga kini kondisinya masih tetap saja seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pasar Arso Kota terletak tepat di tengah Ibukota Kabupaten Keerom, tepatnya di Distrik Arso dan dilewati jalan Trans Papua. Pasar ini merupakan pasar pertama yang didirikan kala itu Distrik Arso masih bergabung dengan Kabupaten Jayapura. Keerom menjadi kabupaten definitif pada 12 April 2003 dengan beribukota di Waris.
Para pedagang memulai aktivitasnya dari pagi hari sekitar pukul 04.00-09.00 WP atau 5 jam setiap hari . Memang geliatnya sangat pendek bagi pedagang yang menjajakan dagangannya hal ini dirasakan oleh mama – mama pedagang asli Papua maupun non Papua yang berjualan pasar tersebut. Jerat Papua menjumpai beberapa pedagang asli Keerom pada Selasa (23/02) yakni Mama Clara Borotian dan Mama Susina Nouyagir.
“Dengan berjualan beberapa jam saja sangat tidak cukup untuk mengumpulkan keuntungan yang nantinya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk pendidikan anak-anak ,” ujar Mama Clara Borotian yang merupakan Masyarakat Adat Keerom sembari asik membuka karung dan noken jualannya.
Ditambahkan oleh Mama Borotian bahwa setiap hari pasar dirinya selalu hadir dengan sejumlah jualannya. Namun dengan jam operasi hanya 5 jam sangat tak berpendapat dan hanya pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu saja. Dirinya kalau membawa barang jualan dalam jumlah banyak dan berjualan hanya 3 jam maka mendapat untung apa – apa apalagi ongkos ojek sudah mahal ucap Mama Borotian.
“Kami sudah sering mengeluh kepada pemeritah tapi sama saja, padahal Keerom ini bukan distrik lagi, sudah jadi kabupaten tapi untuk pasar saja sulit sekali dong bangun,”ujar mama Borotia tersenyum sambil mengunyah buah pinang.
Mama Borotian juga mengkritik bahwa Bupati Keerom sudah berganti beberapa kali tapi kondisi Pasar Arso Kota belum pernah diganti.”Dong takut kita mama – mama nanti jualan dapat uang banyak dari dong punya gaji ka,” ucap Mama mulai berusia setengah abad sambil tersenyum.
Ditempat yang sama seorang mama bernama Susina Nouyagir yang juga merupakan teman dari Mama Borotioan mengatakan bahwa mama – mama pedagang yang ada ini tra pernah minta macam – macam sama dong yang penting dong bikin pasar saja itu sudah cukup, kitong sudah senang sekali. “Kita minta pasar induk, waktu Bupati Keerom Bapak Yusuf Wally menjabat tapi bukan pasar dong bangun tapi dong pi bikin terminal lagi,” ucap Mama Nouyagir dengan mimik muka serius.
Ditambahkannya dirinya mempertanyakan keberpihak pemerintah Keerom kepada pedagang asli Papua. karena dari dulu mama-mama pedagang Asli Papua telah minta agar ada pasar yang permanen namun tidak pernah ada realisasi. Dan hal ini berlangsung sejak Keerom masih bagian dari Kabupaten Jayapura hingga sekarang menjadi Kabupaten Keerom.
(Harun Rumbarar / Wirya Supriyadi)