JERATPAPUA.ORG, JAKARTA, Pemerintah dan DPR sepakat melakukan pemekaran tiga provinsi baru di Bumi Cendrawasih, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.
Provinsi Papua Selatan akan diberi nama Anim Ha dengan ibu kota Merauke dan lingkup wilayah Kabupaten Merauke, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, serta Kabupaten Boven Digoel
Kemudian, Provinsi Papua Tengah bakal dinamakan Meepago dengan ibu kota Timika dan lingkup wilayah Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Intan Jaya, serta Kabupaten Puncak.
Sementara itu, Provinsi Papua Pegunungan Tengah akan diberi nama Lapago dengan ibu kota Wamena dan lingkup wilayah Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Nduga, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Yahukimo, serta Kabupaten Yalimo.
Rencana penambahan provinsi itu diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah yang disahkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam rapat pleno pada Rabu (6/4) lalu.
Isu pemekaran wilayah di Papua itu sebelumnya sempat menyulut aksi demonstrasi dan penolakan besar-besaran di sejumlah wilayah, seperti yang terjadi di Jayapura, Wamena, Paniai, Yahukimo, Timika, Lanny Jaya dan Nabire. Demonstrasi itu juga melahirkan sejumlah korban luka-luka mulai dari warga sipil hingga aparat kepolisian.
Konflik bersenjata intens dilaporkan dalam beberapa bulan terakhir. Terakhir, prajurit TNI dan istrinya yang merupakan seorang bidan dibunuh Orang Tak Dikenal (OTK), hingga Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang melakukan pembakaran rumah dan fasilitas umum.
Ketua Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menilai pemekaran Papua merupakan langkah kurang cermat. Menurutnya perlu ada kajian secara spesifik karena konflik yang belum kunjung reda di Papua sampai saat ini.
Adriana menilai rencana pemekaran di Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah kemungkinan akan malah memicu konflik senjata semakin panas, sementara untuk Papua Selatan menurutnya akan ‘adem’ lantaran minim daerah konflik di sana.
“Pemekaran tidak bisa dilakukan secara ‘dangkal’, hanya mau memekarkan saja begitu, tidak bisa. Dan kalau sebuah pemekaran kemudian bisa menghasilkan perbaikan kesejahteraan masyarakat, dugaan saya tidak akan menimbulkan persoalan. Tapi kemudian balik lagi, siapa yang jamin,” kata Adriana saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (8/4).
Dengan demikian, kesepakatan untuk melakukan pemekaran di Papua menurutnya bukanlah sebuah solusi apik yang ditawarkan pemerintah saat ini. Namun malah ada kekhawatiran lebih serius dibandingkan nilai manfaatannya lantaran masih ada sejumlah poin yang tidak dilakoni pemerintah dalam melakukan pemekaran di daerah konflik.
“Karena di daerah konflik akan ada persoalan perspektif korban atau kacamata aktivis yang mengkhawatirkan ini pasti akan ada penambahan markas Kodam dan sebagainya. Padahal masyarakat Papua sebagian masih sangat traumatik,” imbuhnya.
Adriana juga menilai, pemerintah cukup melupakan poin-poin penting dalam melakukan pemekaran di Papua. Pertama, proses. Adriana melihat sejak awal pemerintah seolah tak menggubris protes masyarakat asli Papua. Padahal menurutnya, pembahasan isu harus dilakukan juga di Papua.
Suara warga menurutnya juga wajib didengar pemerintah untuk kemudian dirembuk di pusat. Namun sejauh ini malah tiba-tiba muncul kesepakatan di DPR, sementara konflik dan demonstrasi penolakan tidak dimunculkan dalam agenda pembahasan.
Kedua, representasi. Pemerintah menurutnya belum menghadirkan suara dari Papua misalnya melalui Majelis Rakyat Papua (MRP). Pemerintah, lanjutnya, harus bisa mengakomodasi perbedaan suara-suara dari banyak adat dan kelompok di Papua. Adriana menilai, tidak ada rumus yang pas untuk mengakomodasi heterogenitas Papua sejauh ini.
“Ada perwakilan termasuk MRP yang merupakan representasi kultural. Tapi apa MRP juga dilibatkan dalam proses ini? Kan kesannya sedari awal MRP menolak, tapi di Jakarta sudah menyepakati pemekaran,” kata dia.
Ketiga, substansi. Adriana menjelaskan, konten dari rencana pemekaran ini harus dijelaskan secara detail baik alasan maupun rencana pembangunan wilayah seperti administrasi, tata kelola wilayah, termasuk Sumber Daya Alam (SDA).
Dari ketiga poin itu, ia menyebut pemerintah dalam waktu dekat harus melakukan pertemuan dengan warga asli Papua untuk membahas masalah ini. Warga Papua perlu mengeluarkan opini penolakan ataupun persetujuan dengan syarat tertentu, dan pemerintah harus mempertimbangkannya dengan cermat.
“Dan kalau pemekaran ini mau direalisasikan pertama kali selain anggaran tentunya ya. Yang terpenting adalah SDM Papua, representasi siapa yang akan memimpin di sana, ditambah kapasitas leadership-nya, pemahaman tentang tata kelola membaca UU termasuk Otsus,” jelasnya.
Lebih lanjut, Adriana juga menilai rencana pemekaran ini kemungkinan besar akan bermuara juga pada kepentingan politik. Jatah politik lantaran sebuah provinsi baru otomatis akan memilih pemimpin baru. Untuk itu, publik menurutnya perlu ikut mengawal fraksi partai politik dalam penentuan pejabat di wilayah pemekaran nantinya.
Selain itu, ada pula jatah ekonomi lantaran dengan pemekaran daerah baru maka akan ada pembangunan di sektor ekonomi. Dengan kondisi itu, ada peluang elite pejabat ataupun pihak oligarki yang memiliki kepentingan dan berpotensi diuntungkan di sana.
“Papua tidak bisa diselesaikan dengan pemekaran, itu saja intinya. Tetapi kalau itu bisa mengurangi permasalahan yang dihadapi masyarakat terutama mendapatkan akses pelayanan publik at the same time mengurangi konflik senjata itu bisa,” ujar Adriana.
“Tapi kalau hanya memekarkan begitu saja ya, ini hanya jadi jatah politik dan ekonomi saja dari sekelompok elite politik dan pengusaha, lalu masyarakatnya dapat apa?,” imbuhnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid itu lantas menilai, rencana pemekaran di Papua justru bukan melahirkan solusi, melainkan malah menjadi masalah baru yang menyulut konflik bersenjata tak kunjung reda di Bumi Cendrawasih.
Usman juga menilai pengesahan RUU soal pemekaran tiga provinsi di Papua itu cacat prosedural dan material. Disebut cacat prosedural karena dibuat dan disepakati tanpa partisipasi dan konsultasi orang asli Papua setidaknya MRP. Padahal kebijakan itu berdampak besar bagi mereka.
Kemudian disebut cacat material karena RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah itu menggunakan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang materinya sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Bisa makin keras penolakan terhadap daerah otonomi baru (DOB), bahkan terhadap Otsus itu sendiri,” kata Usman kepada CNNIndonesia.com, Kamis (7/4) malam.
“Dan lebih jauh lagi menyuburkan keinginan untuk merdeka. Yang paling saya khawatirkan adalah kebijakan pemerintah dan DPR tersebut menghadap-hadapkan penolakan besar masyarakat dengan aparat keamanan. Eskalasi konflik, kekerasan, dan pelanggaran HAM,” imbuhnya.
Usman melanjutkan, DPR sudah seharusnya mendengarkan suara Papua dengan seksama dengan tanpa menyudutkan opini-opini penolakan sebagai representasi dari warga Papua yang pro separatis. Warga Papua berhak menyuarakan pendapat mereka lantaran pemekaran ini terjadi di wilayah kekuasaan mereka.
Ia juga menyebut, seharusnya DPR berpikir bagaimana cara untuk menghentikan baku tembak yang terus meningkat eskalasinya. Misalnya, dengan menimbang usulan Komnas HAM untuk mendorong dialog.
“DPR seharusnya juga kritis sehingga bisa mengetahui apa motif Pemerintah memaksakan pemekaran di Papua. Jangan-jangan itu hanya kepentingan beberapa menteri saja, bukan kepentingan negara dalam kerangka melindungi hak-hak orang asli Papua,” jelas Usman.
Usman juga curiga, ambisi pemerintah melakukan pemekaran di Papua terkait dengan proses perizinan penambangan di Blok Wabu. Selama 2-3 tahun terakhir, kata dia, ada tarik ulur antara Kementerian ESDM dengan Gubernur Papua soal penambangan di tempat tersebut.
Dengan kondisi itu, ia menduga pemerintah mengambil jalan pintas dengan pemekaran wilayah agar izin mudah diberikan. Untuk itu, Usman meminta agar pemerintah dan DPR segera mengundang MRP dan Gubernur Papua. Sementara kesepakatan RUU pemekaran itu dibatalkan, setidaknya menunda rencana itu sampai putusan MK terbit.
“Itu kebijakan yang tidak sopan. Ibarat di ibu kota, pemerintah dan DPR membuat provinsi DKI tiba-tiba menjadi 3 atau 4, bagaimana kira-kira reaksi sang gubernur dan DPRD DKI?,” cetusnya.
Usman menilai, pemerintah pusat dan DPR bukan hanya tidak sensitif terhadap dampak kebijakan yang dibuat mereka bagi orang asli Papua, tetapi juga bagi aparat keamanan yang nantinya harus dihadapkan dengan gelora protes masyarakat.
Ia kemudian menyinggung, Otsus gagal bukan karena separatisme Papua, melainkan separatisme Jakarta. Keputusan-keputusan sepihak dari pemerintah pusat yang inkonsisten dengan Otsus menurutnya justru memberi bensin pada api tuntutan kemerdekaan Papua.
“Warga Papua sudah memberikan yang terbaik dalam membela dan memperjuangkan hak-hak mereka. Tidak sedikit dari mereka yang telah berkorban. Sayangnya, pemerintah pusat dan DPR kurang aspiratif,” pungkas Usman.
Pemerataan Pembangunan
Sementara, Kantor Staf Presiden (KSP) menegaskan rencana pemekaran provinsi di Papua dan Papua Barat adalah bagian dari upaya pemerintah meratakan pembangunan.
Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani menyampaikan selama ini pelayanan publik hanya terpusat di ibu kota provinsi. Pemerintah berharap pemekaran provinsi akan mendistribusikan pelayanan ke berbagai penjuru Papua.
“Kebijakan DOB (daerah otonomi baru) di Provinsi Papua dan Papua Barat yang akan dilakukan pemerintah berdasarkan aspirasi masyarakat merupakan upaya pemerataan pembangunan dan pelayanan di wilayah yang memiliki luas hampir 4 kali lipat Pulau Jawa ini,” kata Jaleswari beberapa waktu lalu.( khr/isn/)
Sumber : CNN Indonesia