JERAT PAPUA.ORG, JAYAPURA – Soal Polemik pencalonan Abdul Faris Umlati dan Jhon Tabo di Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Daya dan Papua Pegunungan, Sekretaris Jenderal (Sekjen ) Dewan Adat Papua mengingatkan kepada seluruh Dewan Adat Wilayah di seluruh Tanah Papua untuk tidak masuk dalam di Kotomi aturan yang di sepakati oleh Pemerintah.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Adat Papua Leonard Imbiri, memberikan peringatan keras kepada setiap Dewan Adat Papa wilayah kabupaten Kota di Tanah Papua untuk tidak bermain-main dengan rekomendasi dan dukung-mendukung kepada calon-calon kepala daerah yang akan bertarung pada kontestasi pemilihan kepala dan wakil kepala daerah, baik itu Gubernur Wakil Gubernur dan Bupati Wakil Bupati serta Walikota Wakil Walikota yang akan bertarung pada Pilkada 27 November 2024 mendatang.
Pernyataan tegas Dewan Adat Papua itu, terkait polemik yang saat ini terjadi di pilkada Provinsi Papua Barat Daya (PBD) atas saling klaim rekomendasi untuk memuluskan salah satu pasangan calon , terkait bukti dan surat keaslian orang papua dalam kacamatan orang Papua dan Masyarakat adat.
Istilah OAP dan Masyarakat Adat dalam Padangan Dewan adat
Menurut Leonard Imbiri selaku Sekjen Dewan Adat Papua, bahwa di Dewan Adat Papua (DAP) sendiri pihaknya tidak mengenal istilah Orang Asli Papua (OAP) yang mereka tahu yakni Masyarakat Adat (MA), sesuai statuta Dewan Adat Papua (DAP) .
“ kita tidak kenal orang asli papua, karena siapa orang asli Papua , itu rumusan politik dan UU Otsus , sementara di dalam masyarakat adat , kita kenal Masyarakat Adat Papua “ tegas Leonard Imbiri
Dalam proses sebagai masyarakat adat Papua kata Leo Imbiri ,di kenal dengan dua mekanisme dalam kaitan dengan posisi seseorang .
“kalau dia mama Papua dan bapa orang luar , maka kita kenal apa yang kita sebut . kalau dia mama papua dan bapa papua dia bisa di katergorikan inisiasi internal “ kata Leo Imbiri
Dalam masyarakat adat sendiri dikenal dua istilah yakni Inisiasi internal dan Inisiasi Eksternal , sheingga kategori ini merujuk pada status perkawinan silang antara dua mempelai pria atau wanita yang berasal dari dua suku berbeda, namun berada di suatu tempat yang di klaim sebagai wilayah kekuasan dari salah satu suku, maka kondisi tersebut di sebut patrilineal yang di akui oleh suku setempat bahwa mereka adalah bagian dari satu kesatuan suku bangsa setempat berdasarkan garis perkawinan darah dari ayah atau ibu .
“ mereka memiliki hak di dalam marga saya, ( suku tersebut) , meski marga ayahnya , namun hidup di wilayah mamanya, maka dia bisa di angkat menjadi marga mamanya , pertanyaan saya apakah proses itu terjadi dalam contoh kasus Cagub PBD Alfaris Umlati ? “ tanya Sekjen Dewan Adat Papua .
Sekjen DAP juga menyoroti contoh kasus Yoris Raweyai di karenakan ayahnya cina dan mamanya Raweyai , yang di inisiasi dan sampai saat ini di akui oleh Raweyai bahwa mereka adalah bagian dari kesatuan marga raweyai.
Sekjen DAP menegaskan bahwa Dewan Adat Wilayah atau Lembaga adat manapun jangan terjebak dengan istilah Orang Asli Papua (OAP) dalam mengeluarkan rekomendasi , dikarenakan hal tersebut merupakan istilah politik yang rumusan hukumnya berbeda dengan praktek dan rumusan yang ada dalam masyarakat adat.
“ oleh karena itu ketika anda memberikan rekomendasi pakelah istilah Masyarakat Adat, dengan melihat istilah-istilah yang hidup dalam masyarakat adat “ tambah Leo Imbiri.
Dari mana sebenarnya Asal- usul Istilah Orang Asli Papua (OAP) ?
Dewan Adat Papua sendiri tidak menggunakan istilah Orang Asli Papua (AOP), karena hal tersebut butuh penjelasan secara rinci bagimana jejak dan seluk beluk asal muasal dari orang atau oknum bersangkutan berasal, sehingga tidak ada konotomi penggunaan istilah yang mubasir dalam praktek-praktek politik yang terjadi saat ini sesuai Statuta Dewan Adat Papua.
“ Dalam Statuta Dewan Adat Papua, yang punyak hak itu menentukan bahwa oknum tersebut benar-benar dari Masyarakat Adat , adalah Suku dan Marga . jadi kalau suku dan marga sudah menetapkan kita yang lain tidak bisa menggugat karena hak kesulungan ada di mereka “ tegas Leonard Imbiri.
Leo Imbiri mempertanyakan apakah proses dan tahapan untuk menentukan seseorang adalah bagian dari masyarakat adat setempat sudah di lalui atau di lakukan oleh suku dan marga di wilayah setempat , untuk menjadikan seseorang di terima sebagai bagian dari marga atau suku bersangkutan dan di akui oleh marga tersebut , sebagai sekretaris Dewan Adat Papua tidak dapat menganulir keputusan yang sudah di lakukan di tingkat suku atau marga bersangkutan.
Untuk itu pihaknya mengingatkan untuk menganulir sebuah keputusan yang dianggap bertentantang dengan statuta Dewan Adat Papua, maka akan di telusuri kronoli dari kasus yang menjadi polimik di Pilkada Papua Barat Daya, dan rekomendasi MRP menjadi bola liar bagi eksistensi Masyarakat adat Papua saat ini.
Tahapan apa yang seharusnya di lalui dalam menetapkan dan merekomendasi seseoang adalah Masyarakat adat ?
Sekjen Dewan Adat Papua mengghimbau kepada seluruh pimpinan Dewan Adat Papua di seluruh wilayah Tanah papua untuk berhati-hati dalam memberikan rekomendasi karena dewan adat tidak punyak hak untuk menetapkan bahwa yang bersangkutan orang asli atau tidak.
“ kita punya kewenangan hanya boleh menetapkan dia itu masyarakat adat dari suku ini atau suku itu, karena suku yang berhak untuk menetapkan seseorang menjadi anak adat atau tidak “ jelasnya.
Selain itu ada mekanisme yang di sebut inisiasi eksternal dalam mekanisme dewan adat papua , khususnya terjadi kepada orang-orang yang telah lama, jauh sebelum Otsus , sebelum ada pemerintah daerah pemerintah republik di tanah ini sudah ada orang-orang yang datang ke tanah papua dan menetap dan memberikan hidupnya untuk orang papua.
Sebagai Sekjen DAP dirinya memintah kepada semua pihak untuk bisa memisahkan kerangka pendefinisian antara Orang Asli Papua ( OAP) dan Masyarakat Adat (MA) , dalam statut dewan adat papua di rumuskan bahwa Masyarakat Adat Papua dan Penduduk Papua.
“Penduduk Papua dalam kategorinya yakni orang lain yang hidup di tanah ini, masyarakat adat adalah mereka yang pemilik atau tuan tanah, melalui dua proses yakni inisiasi internal dan eksternal “ tuturnya.
Masyarakat Adat Terpecah belah
Sekjen Dewan Adat Papua (DAP) memberikan cacatan serius bahwa istilah Orang Asli Papua (OAP) tersebut cukup baik dalam memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak masyarakat adat papua, tetapi hari ini istilah ini telah di definisikan secara primordial menjadi alat pemecah belah bagi orang Papua. Saat ini orang papua mulai di kotak-kotakan sesuai karakteristik wilayah dimana orang di wilayah pegunungan di maniveskan hanya boleh menjadi pemimpin di wilayah pegunungan dan orang di wilayah pantai atau pesisir hanya boleh meminpin di pesisir , bahkan konotasi istilah OAP ini mengkotak-kotakan antara orang pesisir Yapen, biak , Manokwari , Fakfak,Sorong, Maybrat , Jayapura dan Merauke hanya boleh berinklusi menjadi pemimpin , bekerja , mencari, PNS , TNI & Polri hanya di wilayah mereka .
“ saat ini yang boleh jadi pejabat di wilayah pegunungan itu hanya orang pegunungan, di arfak orang papua dari suku lain tidak boleh mendaftar jadi PNS di sana, jadi orang asli papua mulai di definisikan ke dalam tingkatan lokal dan membuat orang yang sudah lama mengabdi di wilayah setempat keturunannya bisa di tolak “ pungkasnya.
Akademisi Univesritas Muhammadiyah Papua Hamim Mustafa memberikan narasi yang sama soal perdebatan isu kepala daerah dan wakil kepala daerah harus orang asli Papua yang hingga kini masih menjadi isu yang menarik. Bahkan muncul pandangan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah harus orang asli Papua belum bisa dilakukan, karena belum memiliki payung hukum. Berbeda halnya dengan Gubernur dan Wakil Gubernur orang asli Papua, secara jelas diatur dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tentang Otonomi Khusus Papua.
Dalam tulisan ini penulis tidak mewakili komunitas, tetapi hanya mewakili pikiran pribadi untuk menuangkan pikiran kedalam opini ini. Sebab, isu ini cukup menarik perhatian banyak kalangan dan menjadi perdebatan di dunia maya dan dunia nyata.
Bila dicermati latar belakang otsus Papua, salah satunya adalah mengakomodir aspirasi politik orang asli Papua. Maka otsus bagi orang asli Papua, harus dimaknai sebagai hak politik kesulungan orang asli Papua, karena ada sejarahnya. Bukan saja hanya jabatan gubernur dan wakil gubernur, tetapi juga jabatan bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil wali kota adalah orang asli Papua.
Aspirasi di atas adalah aspirasi yang muncul kembali setelah tahun 2007 MRP pernah mengusulkan hal yang sama, begitu juga sebagaimana dikutip dari https://mrp.papua.go.id tahun 2020 Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) juga mendeklarasikan Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil harus orang asli Papua. Kemudian, melalui hasil Rakor Sembilan (9) Majelis Rakyat Papua se-Tanah Papua di Sorong pada 28 Maret 2024 yang menghasilkan 9 point rekomendasi. Salah satu rekomendasi MRP Se – Tanah Papua adalah meminta agar Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota harus orang asli Papua. Rekomendasi ini dikeluarkan oleh MRP, lembaga yang memiliki mandat mewakili budaya, agama dan perempuan serta simbol otonomi Khusus Papua, oleh karena itu layak untuk didengar dan diakomodasi oleh seluruh masyarakat Papua.
Apakah aspirasi tersebut berlebihan? Menurut hemat penulis, ini hal yang wajar dan bukan hal yang berlebihan sebagai konsekuensi otonomi khusus
bagi orang asli Papua. Sebab, aspirasi orang Papua untuk menjadi pemimpin di daerahnya adalah sebuah harapan dari hak politiknya. Bukan saja sebagai kepala daerah, tetapi untuk wakil kepala daerah juga harus orang asli Papua.
Kemampuan Orang Papua Menjadi Pemimpin
Kalau semisal ada pandangan, bahwa orang Papua belum cukup mampu menjadi pemimpin, karena SDMnya belum mampu, sehingga diperlukan wakil dari saudara non Papua. Untuk menjawabnya, maka kita perlu mengetahui dan kita lihat bahwa sudah sangat banyak SDM Papua yang memiliki Pendidikan yang mumpuni. Ada yang menempuh Pendidikan di perguruan tinggi di dalam dan luar Papua, bahkan di luar negeri. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya cukup banyak SDM Papua yang sudah memiliki Pendidikan yang mumpuni untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Sehingga, alasan atau pandangan bahwa orang Papua belum mampu menjadi pemimpin di daerahnya Papua sudah terjawab.
Sebagai contoh, di beberapa kabupaten seperti Puncak Jaya, Puncak, Nduga dan lain sebagainya adalah bupati dan wakil bupati adalah orang asli Papua dan terbukti mampu walapun belum sempurna. Sedangkan, kabupaten-kabupaten tersebut adalah kabupaten yang cukup banyak persoalan dan tantanganya. Seperti kondisi geografis, layanan publik yang belum maksimal, begitu juga terkait dengan masalah politik dan keamanan. Contoh tersebut seyogyanya sudah memberikan gambaran keyakinan dan jawaban atas aspirasi orang Papua melalui MRP se- Tanah Papua, agar kepala daerah dan wakil kepala daerah orang asli Papua.
Untuk itu, kita perlu bijak untuk tidak berlebihan memberikan stereotype bahwa orang Papua belum mampu menjadi pemimpin di daerahnya. Pandangan ini perlu untuk disingkirkan dan memberikan kesempatan memimpin. Dengan kesempatan tersebut, orang Papua akan belajar dan membuktikan kemampuannya menjadi pemimpin di daerahnya. Meminjam pernyataan Prof. Avelinus Lefaan Sosiolog Uncen saat diskusi Update Situasi HAM di Papua yang dilaksanakan oleh Aliansi Demokrasi untuk Papua pada tanggal 29 Mei 2024 di P3W kurang lebih mengataakan bahwa” janganlah kita menghakimi orang Papua tidak mampu menjadi pemimpin, biar orang Papua sendiri yang mengatakan kalau seandainya tidak mampu dan selama orang Papua mengatakan mampu, kita sebagai non Papua harus memberikan kesempatan dan ini adalah etika moral tertinggi kita”.
Dari pernyataan tersebut sangat jelas bahwa kita harus dengan lapang dada untuk memberikan kesempatan itu dan yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat adalah bagaimana memberikan asistensi bagi kepala daerah yang ada di Tanah Papua dan Masyarakat memberikan dukungan dengan menghapus diksi “belum mampu”. Hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan Masyarakat Papua kepada pemerintah pusat, Masyarakat pada umumnya dan begitu sebaliknya.
Konsensus Politik Calon Pasangan Kepala Daerah
Konsensus politik diantara calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah adalah hal yang sulit untuk dihindari agar pencalonan pasangan dapat terwujud. Konsensus politik calon untuk berpasangan dilakukan bisa karena untuk mengakomodir kepentingan masing-masing. Hal ini menjadi sesuatu yang lazim dilakukan.
Memang pengaruh entitas sebagai basis pendukung terhadap calon-calon akan sangat berpengaruh dalam pemilukada di Papua. Dimana ada dua kelompok besar sebagai fakta sosial yakni kelompok Orang Asli Papua dan Non Papua. Secara khusus kelompok besar ini cukup berpengaruh terutama pada kabupaten yang jumlah non Papuanya cukup signifikan seperti Merauke, Kota Jayapura, Timika, Kota Sorong dan lain sebagainya. Di daerah-daerah tersebut, sangat dimungkinkan memiliki peluang besar untuk pencalonan kepala daerah berpasangan antara Orang Asli Papua dan Non Papua terjadi. Sudah menjadi kebiasaan yang berulang bahwa di daerah yang jumlah penduduk non Papua signifikan, maka non OAP dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Apakah ini juga menjadi konsensus politik di kabupaten/Kota?
Payung Hukum Atau Kebersaran Hati
Apakah harus diperlukan payung hukum untuk merealisasikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota orang asli Papua? Mari kita telaah, sebagaimana UU Otsus Nomor: 21 Tahun 2021 pada BAB I Ketentuan Umum pasal 1 pada poin b. “Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua”. pada pasal 1 Poin b apabila kita menelaah lebih dalam, bahwa dalam otsus ada kata kunci penting seperti kewenangan khusus, mengatur dan mengurus, menurut prakarsa, aspirasi hak-hak dasar Masyarakat Papua. Kata-kata kunci tersebut kalau kita hubungkan dengan aspirasi yang berkembang terkait dengan usulan kepala daerah orang asli Papua cukup relevan. Sebab ada kewenangan yang diberikan, ada prakarsa yang berasal dari Masyarakat atau perwakilan orang Papua sebagaimana untuk merespos aspirasi, dan itu menjadi hak politik orang asli Papua, walaupun tidak secara eksplisit disebutkan tetapi poin tersebut sudah sangat jelas posisinya. Berbeda dengan gubernur dan wakil guburnur sebagaimana bunyi pasal 12 “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat sebagaimana poin a. orang asli Papua”.
(penulis : Mahasiswa Magang Universitas Muhammadiyah Papua/nesta Makuba/Akademisi Univrsitas Muhammadiyah Papua)