Pulau Kalimantan dan Sumatera selama ini menjadi sasaran kaum kapitalis, pemilik modal yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan dan hak pengusahaan hutan (HPH). Dalam kurun waktu puluhan tahun, hutan-hutan di kedua pulau tersebut semakin menipis. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan lebih dari 30 persen dari hutan tropis Kalimantan telah hancur selama 40 terakhir akibat kebakaran, industri penebangan kayu dan industri perkebunan.Alasan pemerintah soal mengejar predikat penghasil CPO (crude palm oil) terbesar di dunia jadi gayung bersambut oleh investor. Celakanya kini Papua menjadi sasaran mata para investor setelah hutan Sumatera dan Kalimantan semakin menipis.
Fakta sekarang ini, dalam beberapa tahun belakangan para pemilik modal tersebut menjadikan Papua sebagai sasaran ekspansi yang baru untuk industri agro forestri. Sumber daya alam Papua yang melimpah dari kandungan bahan tambang hingga hutan yang luas jelas menjadi magnet yang kuat, bagi baik pertambangan, HPH maupun perkebunan sawit.
Sejatinya investasi itu menguntungkan masyarakat lokal, namun pada kenyataannya di Papua justru posisi masyarakat adat sangat lemah. “Mengacu pada aturan Internasional sebelum kedatangan perusahaan di suatu kawasan, masyarakat harus diberi informasi dan pemahaman. Dari situ masyarakat diberi kesempatan untuk memilih apakah menerima atau menolak kehadiran perusahaan. Tapi dalam praktiknya itu tidak dilakukan. Perusahaan tiba-tiba datang dan masyarakat kaget,” ungkap Wirya Supriyadi, Koordinator Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) dan Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) dari Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua.
Menurutnya, marginalisasi terhadap masyarakat adat kemudian berlanjut saat prosesland clearing (pembersihan lahan) hak-hak dari masyarakat tidak diberikan sesuai aturan. Contoh kasus, salah satu perusahaan sawit di Bonggo, Kabupaten Jayapura, hanya membayar 10 ribu rupiah per kubik untuk kayu merbau. Jika merbau yang punya kualitas saja dibayar murah, jelas untuk jenis kayu lainnya dihargai lebih rendah lagi.
Ada pula yang hanya dibayarkan ganti rugi tanah, sementara hasil hutan seperti kayu, rotan, dan lain-lain tidak diberi kompensasi. Mereka hanya diming-iming berbagai fasilitas seperti pendidikan, rumah ibadah, kebun plasma. “Dalam menjalankan misinya, para tokoh masyarakat berpengaruh digiring ke luar Papua, pokoknya diservis oleh pihak perusahaan,” ungkap Charles Tawaru, juru kampanye Greenpeace untuk Papua.
Dalam praktiknya, janji itu pun tidak dipenuhi. Ini sangat berbeda dalam urusannya dengan pemerintah, syarat-syarat seperti ganti rugi itu semua terpenuhi oleh perusahaan, sementara bagi masyarakat hanya sebatas janji. Ini bisa terlihat pada beberapa kasus yang diangkat para LSM lingkungan hidup ke Komnas HAM, seperti perkebunan sawit di Nabire, Bintuni dan Merauke. “Yang disoroti terutama tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungan yang terabaikan,” kata Charles Tawaru.
Kehadiran perusahaan baik tambang, HPH maupun sawit juga membawa dampak pada perubahan pola hidup masyarakat. Bagi kebanyakan masyarakat Papua yang terkenal sebagai peramu dan berburu, hutan ibarat supermarket, segala kebutuhan hidup ada di sana, dari protein nabati, hewani, karbohidrat semua diperoleh dari hutan. Hidup mereka sangat tergantung dengan hutan. “Hadirnya perusahaan itu jelas memusnahkan sumber kehidupan mereka, sehingga otomatis harus memutar otak untuk mencari sumber hidup baru,” kata Wirya.
Selanjutnya, masyarakat yang telah kehilangan hutan tadi hanya jadi penonton. Mereka tak mempunyai skill yang memadai untuk bekerja di perusahaan, paling bagus jadi buruh rendahan. Untuk mengelola kebun plasma pun juga tidak mungkin, karena sawit adalah tanaman asing untuk mereka. Tak ada pengalaman memelihara sawit.
Bukan hanya itu, dalam jangka panjang, tanaman sawit juga membuat lahan menjadi gersang, karena sawit adalah jenis tanaman yang rakus unsur hara dan air. Setiap hari, satu pohon sawit membutuhkan 6-8 liter air. “Kita bisa lihat bekas-bekas lahan perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan sudah gersang, hanya bisa untuk pemukiman, tak mungkin lagi untuk pertanian,” pungkas Wirya Supriyadi.
***
Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas) merupakan suatu lembaga ekonomi rakyat yang memberikan peluang usaha bagi masyarakat terutama yang bergerak dalam pengusahaan hutan secara lestari. “Hadirnya Kopermas belum menolong, justru dimanfaatkan perusahaan sebagai kedok. Mereka ibarat perpanjangan tangan pengusaha,” kata Wirya lagi. Menurutnya, tidak adanya pendampingan tepat menyebabkan Kopermas belum memberikan dampak positif bagi masyarakat. Dalam skema ini, masyarakat tak punya modal sehingga diambil alih perusahaan besar dengan modus pemberian modal usaha. Masyarakat menebang dengan harga murah.
Data yang diperoleh dari Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Papua menunjukkan jika Kopermas di Papua per Desember 2014 sebanyak 259 unit. Yang aktif sebanyak 83, dan sisanya tak lagi hidup. Pihak Dinas Koperasi mengungkapkan jika tak semua Kopermas tersebut bergerak di bidang pengelolaan hutan, tapi juga ke sektor lain seperti pertanian, peternakan dan perikanan.
(https://negaraanakpatading.wordpress.com)