Apakah Papua bisa? Kita Belum “Siap Siaga”

0
195
Karmin Lasuliha
Karmin Lasuliha

Kita Belum “Siap Siaga”

oleh: Karmin Lasuliha

Di awal tahun 2016 tidak ada yang berbeda dengan tahun kemarin, karena rutinitas pun tak membedakannya. Kami dipaksa berpikir mengalirkan gagasan-gagasan baru untuk bertahan hidup diera yang sungguh penuh dengan persaingan. Waktu itu kami hendak bepergian ke kampung untuk urusan pekerjaan, sementara mereka di kampung sedang menunggu untuk tindakan segar hasil gagasan dari yang tinggal di perkotaan. Keputusan telah di sepakati untuk upaya pengembangan dan pemberdayaan di kampung.

Banyak yang urgent harus dilakukan untuk wilayah yang memiliki penduduk kurang lebih 3,486 juta jiwa ini. Disini kami membicarakan tentang Papua karena ada potensi di sana. Banyak permasalahan yang terjadi di tanah syarat kekayaan ini, persoalan HAM, Politik dan ekonomi harus dibenahi. Kami hanya bertiga, salah seorang dari kami bernama Markus Imbiri, dia anak muda yang kami anggap potensial dengan kemampuan (internet teknology) IT nya. “Papua jangan di kotak-kotakkan bicara tanah ini adalah berbicara hati dan pemberdayaan manusia, tidak perlu mencari masalah tetapi bagaimana kemampuan kita untuk mengidentifikasi potensi sesuai keinginan mereka” inilah Markus dengan gaya terus terangnya.

Desember 2015 kemarin telah di berlakukan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dimana Persaingan dibursa tenaga kerja akan semakin meningkat. Pemberlakuan pasar bebas Asean ini akan mempengaruhi banyak orang, terutama pekerja yang berkecimpung pada sektor keahlian khusus. Di Jakarta sejumlah pimpinan asosiasi profesi mengaku cukup optimistis bahwa tenaga kerja ahli di Indonesia cukup mampu bersaing. Kami kurang setuju dengan pernyataan orang-orang yang ada di sana, karena kondisi Papua tidaklah demikian. Tanah ini belum siap dan tengah mencari model mengikuti trend orang Jakarta.

Kondisi geografis di wilayah Papua menjadi salah satu pertimbangan wilayah ini diberi kekhususan selain pertimbangan politik, ekonomi dan hukum HAM. Jika anda sempatkan diri menetap dan bergumul di Papua maka anda akan merasakan kesenjangan yang begitu sangat jauh dengan saudara-saudara kita asli Papua. Mereka bukanlah tidak mampu melainkan kondisi daerah, program pemberdayaan serta investasi yang belum berpihak. Kondisi kesenjangan sosial terhadap masyarakat serta wilayah geografis ini tentunya harus di kaji secara baik dan berkelajutan, dimana penggalakkan program sebagai upaya meminimalisir kesenjangan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

Sumber daya berupa kebutuhan primer seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, sedangkan untuk pengembangkan usaha, sarana perjuangan hak azasi, keberadaan saluran politik tentulah bersinergis dengan kebutuhan sumberdaya manusia di bidang primer. Investasi di bidang pendidikan dan menjalankan program pengajaran bagi para orang tua khususnya tentang mempersiapkan masa depan anak-anak mereka merupakan langkah awal yang harus di tempuh, karena 65% anak-anak yang saat ini berada pada tingkat sekolah dasar, kelak akan melakukan pekerjaan yang saat ini bahkan belum ada. Karena itu pelatihan untuk mempersiapkan masa depan mereka menjadi hal sangat penting.

Pengembangan sumberdaya tidak terbentuk dengan sendirinya melainkan ada beberapa hal yang mempengaruhi, kita sadar bahwa setiap tujuan mempunyai cara dan proses yang berbeda. Menerima keberagaman dalam konteks untuk “menghidupkan” akan lebih mudah ketimbang memberi kehidupan dalam konteks homogen atau desain program subjektif yang jauh dari sasaran. Anda dapat bersaing jika mampu bercermin pada persaingan ketat lingkungan yang ada di sekitar dari pada terjerembab dalam sistem yang mengkebiri potensi.

Mama-mama Papua dengan pasar tradisionalnya apakah mereka di kebiri? Atau, anak-anak Papua yang mengerti keberagaman dan mampu bersaing di terminal pasar sentral. Inilah dua kehidupan yang berbeda seperti yang kami ungkapkan di atas. Era ini bukan lagi era dimana kita siap di tempat. Melainkan era persaingan dengan kekuatan modal serta kreatifitas yang dimiliki anak bangsa, bukan disaat kita dibutuhkan te tapi bagaimana kita siap siaga mengejar dan menangkap peluang yang ada.

“siap siaga” adalah bertindak, kita diperhadapkan dengan peperangan (Digital War) tekknologi yang sialnya musuh kita bisa siapa saja bahkan diri kita sendiri. Apakah kita memiliki senjata dengan peluru hampa atau peluru tajam, apakah kita memiliki software yang mampu mendeteksi musuh kita, apakah kita bisa merumuskan strategi dan taktik untuk dapat melindungi diri kita dari ancaman dan serangan. Zaman perang di mulai, saya yakin inilah perang yang sesungguhnya di jagad Indonesia raya.

Letak geografis serta medan tempuh daerah tentu tidak membuat kita lemah tetapi kita akan lebih berenergi, cekatan dan bermental tangguh. Kampanye membangun Papua dengan hati setidaknya di ikuti dengan tindakan oleh semua orang yang berpikir untuk kemajuan daerah ini. Jangan menyerah karena jika menyerah maka kita akan tergerus arus globalisasi. Analisa kami bahwa Papua menjadi daerah paling pertama untuk menghadapi itu.

Pasca pertemuan tahunan pemimpin dan pelaku bisnis dunia dalam World Economic Forum (WEF) tanggal 18 januari 2016 lalu dampak revolusi teknologi menjadi pembahasan utama. Dalam sambutannya pendiri dan pimpinan World Economic Forum mengatakan bahwa negara-negara harus melakukan investasi transformasi sumber daya manusianya agar bisa mengikuti perubahan zaman dan mencegah minimnya Tenaga bermutu, pengangguran massal dan tumbuhnya kesenjangan. Apakah Papua bisa?

Juga, Lewis membuka pemahaman kita tentang ketimpangan yang terjadi, dia mengatakan bahwa kita tidak mampu karena kita terkungkung seperti katak dalam tempurung (bersahabat dengan budaya kemiskinan). Gambaran kondisi sosial memberi dampak ketimpangan yang jauh berbeda, kemandirian di batasi dengan program kolektif yang parsial. Anda harus terus menanam, jika tidak maka jangan harap akan menuai. Tanah ini butuh pekerja profesional yang memahami makna pengabdian, jangan terikat dengan simpul tanah surga atau jangan pula di kebiri dengan Otonomi khusus.

Otonomi yang tinggal beberapa saat lagi usai, masi terjadi ketimpangan yang cukup memprihatinkan, selain sumber daya manusia yang belum siap siaga, kekurangan sampai belum baiknya fasilitas seperti pemukiman, pendidikan sarana komunikasi dan tidak adanya kepastian perlindungan hukum membuat kita jauh tertinggal. Meminjam kutipan Melly G. Tan bahwa kondisi ini merupakan kemiskinan struktural, dimana masyarakat tidak dapat merasakan dan menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya harus tersedia bagi mereka.

Sejenak kita refleksikan kondisi ini, bagaimana membangun negeri ujung timur Indonesia. Kebijakan pendidikan, kesehatan serta ekonomi kerakyatan harus terus di galakkan, munculkan program kreatif yang menjadi kebutuhan mereka di daerah untuk masa depan.

Sehingga jika di tanya, dimana tempat tinggal anda? Jawablah bahwa saya datangnya dari tanah surga, yakni Tanah Papua yang kaya bagaikan surga kecil yang jatuh ke bumi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here