Memformalkan Wilayah Pertambangan Rakyat Yang Diterlantarkan Di Papua

0
368

Memformalkan Wilayah Pertambangan Rakyat Yang Diterlantarkan  Di Papua

Oleh

JOHN NR GOBAI

Pengantar

Pertambangan adalah kebun bersama sehingga, menurut kami jangan dirusak dan juga jangan dikotori, tetapi perlu dibicarakan tentang bagaimana sebaiknya dilakukan bagi pendulangan-pendulangan emas serta penambangan batuan yang selama ini dilakukan di Tanah Papua, dihadapkan pada beberapa solusi yaitu,dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) atau dikerjakan oleh pemegang Ijin Usaha Pertambangan, tentunya dengan melihat, keuntungannya bagi Masyarakat Asli dan Pengusaha Asli Papua. Jika mempertimbangkan kemampuan modal dan keahlian masyarakat adat papua maka yang dapat diakes oleh masyarakat adalah jika ditetapkan menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan diberikan Ijin  Pertambangan Rakyat (IPR) sehingga diperlukan sebuah konsep pertambangan rakyat yang berkelanjutan, artinya ramah lingkungan dan jelas kontribusi bagi pemilik tanah serta minim dampak sosial yang negatif kepada masyarakat

.

WPR  Yang diterlantarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan PP Nomor 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967, dengan munculnya pertambangan rakyat dibeberapa tempat di Indonesi maka, Mentri Pertambangan dan Energi, mengeluarkan peraturan yaitu Permen Pertambangan & Energi No. 01 P/201/M/PE/1986 Tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A & B) sedangkan pertambangan rakyat untuk bahan galian yang bukan strategis dan vital (bahan galian golongan c) diatur dengan Peraturan Daerah berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Mentri, dengan dasar itu diperoleh sebuah Surat Keputusan Mentri Pertambangan dan Energi, Keputusan Nomor 163.K/20/M.PE/1994 tanggal 24 Januari 1994 telah menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat untuk bahan galian emas di daerah Web, Kabupaten Jayapura, Irian Jaya (Papua), Dirjen Pertamabangan Umum dengan keputusan Nomor 284.K/20.01/DJP/98 telah menetapkan WPR bahan galian Emas untuk Kecamatan Uwapa, Kabupaten Nabire, Keputusan Dirjen Pertambangan Umum Nomor 560.K/20.01/DJP/1998 untuk WPR bahan galian emas di Topo; , Keputusan Dirjen Pertambangan Umum Nomor 184.K/20.01/DJP/1999 untuk WPR bahan galian emas di Kecamatan Senggi, Kecamatan Sentani Timur dan Kecamatan Sentani Barat, Kabupaten Jayapura.

Pemerintah Provinsi Irian Jaya (Papua) telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Irian Jaya Nomor 9 Tahun 1998 tentang Ijin Usaha Pertambangan Rakyat Bahan Galian Emas Penetapan suatu wilayah pertambangan rakyat serta pelimpahan wewenang kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I tentang perizinan pertambangan rakyat untuk bahan galian strategis (a) m rakyat, telah dikeluarkan Keputusan Dirjen Pertambangan Umum No: 236.K/20/DJP/1999 tanggal 27 April 1999. Isinya berupa penugasan kepada Kepala Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi atas nama Direktur Jendral Pertambangan Umum untuk menetapkan wilayah pertambangan rakyat di wilayah kerjanya.

 

Judicial Reviuw sebagai jaminan

Ada dua pasal yang telah diuji yakni Pasal 22 huruf e dan huruf f serta Pasal 52 ayat (1) UU Minerba. Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat, ketentuan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di dalam UU Minerba adalah sebagai wujud pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanahkan kepada negara untuk terlibat atau berperan aktif melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara Namun. Lanjut Mahkamah, jika dikaitkan dengan Pasal 22 huruf f, justru berpotensi menghalang-halangi hak rakyat untuk berpartisipasi dan memenuhi kebutuhan ekonomi melalui kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Karena pada faktanya tidak semua kegiatan pertambangan rakyat sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun. Sedangkan terhadap pengujian Pasal 52 ayat (1) UU Minerba, Mahkamah berpandangan bahwa pengaturan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), dan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) sudah jelas dan tegas. Di mana urutan prioritasnya adalah dengan memberikan prioritas untuk menetapkan WPR terlebih dahulu, kemudian WPN, dan terakhir WUP. Dengan adanya judicial review ini maka sudah semakin jelas keberpihakan dari pemerintah pusat terhadap penambang rakyat, kini adalah tugas pemerintah daerah untuk mengimplementasikannya penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan pemberian Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) sesuai dengan batasan kewenangan yang sudah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

 

Solusi

Pemerintah sebetulnya dengan roh OTSUS yaitu Perlindungan, Keberpihakan dan Pemberdayaan kepada penambang rakyat apalagi sekarang sector ini juga sudah dikerjakan oleh Orang Asli Papua. Kekeliruan yang dilakukan oleh Gubernur Papua, Barnabas Suebu dengan mengeluarkan Ingub No 1 Tahun 2011, kami harapkan tidak dilakukan oleh kita semua, karena jelas isinya ingin menggusur penambang rakyat demi kepentingan investor yang bukan Orang Asli Papua.

Dengan dasar UU No 21 Tahun 2001 dan merujuk kepada judicial reviuw terhadap UU No 4 Tahun 2009, maka Pemerintah Provinsi Papua mestinya dapat menetapkan kembali wilayah pertambangan rakyat yang telah ditetapkan pada waktu lalu, tentunya dengan terlebih dahulu keberadaan aktivitasnya dan juga lokasi lokasi penambangan rakyat pada wilayah-wilayah yang telah dikerjakan sebelum ada UU No. 4 Tahun 2009 dan PERDASI Papua 14 Tahun 2008 tentang Pertambangan Rakyat Daerah. Hal ini sesungguhnya adalah perintah undang-undang dan Perdasi, sehingga tidak dapat ditwar-tawar mutlak harus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua atau Kabupaten /Kota di Papua dan juga melakukan pemetaan untuk aktivitas yang dilakukan diatas tahun 2009 dan sedang jalan, dalam rangka memformalkan tambang rakyat.

Penulis adalah Ketua DPP Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia Regio Papua

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here