JERAT PAPUA .ORG, JAYAPURA, – Menanggapi polemik laporan para ahli dari Komisi Tinggi HAM PBB tentang situasi pelanggaran HAM di Papua, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib mengatakan:
“Terima kasih kepada para ahli PBB yang menyurati pemerintah Indonesia terkait situasi pelanggaran HAM di Papua. Negara wajib menjawabnya, tidak boleh menyembunyikan apa yang terjadi di Papua. Pemerintah perlu memenuhi janji mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung Papua. Jika tidak ingin Komisioner Tinggi HAM PBB berkunjung ke Papua, maka muncul pertanyaan di masyarakat, ada apa?”
“MRP mengingatkan bahwa yang tewas di Papua itu adalah manusia, bukan hewan. Negara harus sungguh-sungguh menjawab pertanyaan PBB. Banyak kasus pelanggaran HAM tidak diselesaikan. Pelaku tidak ada yang diadili. Bahkan pelaku justru mendapatkan posisi-posisi dan jabatan strategis,” kata Timotius dalam sebuah acara Media Briefing yang diadakan oleh lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute dan Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi RBA) di Hotel Grand Mercure Harmoni, 9 Maret 2022.
“Presiden Joko Widodo sudah 11 kali ke Papua, tetapi tidak pernah menemui DPR Papua dan MRP Papua. Padahal MRP adalah honai Papua. Mengapa Presiden tidak pernah datangi MRP? MRP adalah representasi kultural orang asli Papua. Jadi kalau presiden telah memimpin pembangunan di Papua, atas saran siapakah pembangunan tersebut? Jika hendak ke Papua kembali, maka Presiden harus menemui kami dan berbicara tentang bagaimana mengelola Papua,” lanjut Timotius.
“Sekarang muncul soal baru. Pesan Presiden untuk Papua sayangnya diterjemahkan oleh beberapa Menteri melalui pemekaran wilayah berdasarkan UU Otsus baru yang bermasalah. Tanpa konsultasi dengan rakyat Papua. UU ini mengabaikan mekanisme yang ditetapkan oleh Pasal 77 UU Otsus yang mewajibkan adanya konsultasi dengan rakyat di Papua. Dalam naskah akademik, perubahan UU hanya terhadap Pasal 76 soal pemekaran wilayah dan Pasal 34 perihal keuangan daerah. Tapi yang terjadi adalah perubahan 19 pasal. Ini pendekatan kebijakan model apa? Sementara jika kami bersikap kritis, justru dituduh separatis, atau teroris. Pemekaran wilayah harus dihentikan.”
“Di Papua, pelanggaran HAM terus terjadi karena negara tidak menjalankan Otonomi Khusus Papua secara konsekuen. Salah satunya itu terjadi karena konflik dua regulasi. UU Otonomi Khusus dan UU Otonomi Daerah. Sayangnya, para walikota dan bupati kebanyakan hanya melaksanakan UU Otonomi Daerah, tidak kepada UU Otsus. MRP menilai seharusnya UU Otsus terkait Papua dikonsultasikan dengan rakyat Papua,” tutup Timotius.
Latar belakang
Pada 1 Maret lalu, tiga ahli HAM PBB menyoroti dugaan pelanggaran HAM di Papua. Ketiga ahli tersebut adalah Pelapor Khusus untuk Hak-hak Masyarakat Adat Francisco Cali Tzay, Pelapor Khusus untuk Hak-hak Pengungsi Internal Cecilia Jimenez-Damary serta Pelapor Khusus untuk Eksekusi Kilat, Sewenang-wenang, atau Di luar Hukum Morris Tidball-Binz. Pernyataan ini merupakan lanjutan dari semacam laporan sebanyak 13 halaman yang dikirimkan PBB kepada pemerintah Indonesia pada 22 Desember 2021.
Pada 8 Februari, Pemerintah pusat mengundang pemerintah provinsi Papua untuk menanggapi dugaan tersebut dengan turut menyediakan informasi yang diminta oleh para ahli PBB. Antara lain, informasi dan klarifikasi jumlah dan keadaan pengungsi di tiap-tiap kabupaten di Papua dan Papua Barat; informasi terkait upaya Pemerintah dalam memberikan bantuan kemanusiaan dan rencana pemulangan pengungsi ke rumah masing-masing dengan aman; dan informasi upaya yang dilakukan untuk mengurangi penyebaran dan dampak COVID-19 terhadap orang asli Papua/masyarakat adat.
Laporan PBB menyebut, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, konflik telah menyebar ke 7 (tujuh) Kabupaten, yakni Nduga, Pegunungan Bintang, Mimika, Yahukimo, Puncak, dan Intan Jaya. Ada pula di Maybrat, Provinsi Papua Barat. Menurut PBB, pengungsi diestimasikan berjumlah 60.000-100.000 orang.
Sebagian pengungsi tidak dapat kembali ke daerah asal dan melarikan diri ke hutan sehingga tanpa akses makanan, fasilitas kesehatan dan layanan pendidikan, yang tentu meningkatkan potensi tertular Covid-19 dan risiko kematian. PBB mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan dari Palang Merah dan gereja memiliki akses yang terbatas pada pengungsi, sementara bantuan pemerintah daerah bagi pengungsi sangat minim.(Nesta/Amnesty)