Masyarakat Adat dalam satu sesi di Kongres Masyarakat Adat Nusantara VI 2022 di Jayapura, foto : nesta /jeratpapua.orgMasyarakat Adat dalam satu sesi di Kongres Masyarakat Adat Nusantara VI 2022 di Jayapura, foto : nesta /jeratpapua.org

JERAT PAPUA.ORG, JAYAPURA – Saya ingin menanggapi 2 (dua) tulisan yang muncul berdekatan di kolom opini Harian Kompas, yaitu “Mewujudkan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat” oleh Muhammad Arman (15/10/2022) dan “Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat” oleh Noer Fauzi Rachman (18/10/2022).

Landasan Filosofis-Legal-Historis

Arman dan Noer Fauzi memaparkan landasan filososif-legal-historis bagi pengakuan hak-hak masyarakat adat. Para pendiri bangsa seperti Muhammad Yamin dan Muhammad Hatta menempatkan masyarakat adat pada posisi sentral dalam perumusan awal konstitusi Indonesia. Mereka memuji nilai-nilai kolektivitas dalam masyarakat adat sebagai modal ke arah demokrasi ekonomi.  Masyarakat adat sudah ada ratusan tahun sebelum terbentuknya Indonesia dan memiliki kecakapan tata-negara dan tata-kepengaturan hak-hak warganya.

Noer Fauzi memaparkan semangat nasionalisme para pemikir awal Indonesia seperti Supomo (1903-1958) dan MM Djojodiguno (1896-1979) dalam menyusun konsepsi hukum tandingan terhadap “Domein Verklaring” bikinan kolonial Belanda yang banyak mengorbankan masyarakat adat. Pertarungan filosofis-intelektual yang serius ini berujung pada rumusan mengenai “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat” di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960.

Intinya, terdapat landasan pemikiran dan legal yang kuat bagi pengakuan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak ulayat.

Fakta-fakta-fakta

Secara terang-benderang, Arman dan Noer Fauzi memaparkan data-data mengenai buruk dan lambatnya pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Hanya 15 persen wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah. Amanat UUPA tentang pendaftaran seluruh bidang tanah tidak kunjung tuntas.

Merujuk Catatan Akhir Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Catahu AMAN), Arman menunjukkan data-data kriminalisasi dan perampasan wilayah masyarakat adat. Di tingkat legislasi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat sudah mengendap (mangkrak) selama 15 tahun di DPR.

Masih “State-Centrism”

Data-data yang dipaparkan oleh Arman dan Noer Fauzi sudah pantas membuat kita geram dan marah kepada pemerintah. Landasan filosofis-legal-historis untuk pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat sungguh kuat dan tak-terbantahkan. Jumlah masyarakat adat yang menjadi korban kriminalisasi dan perampasan lahan terus bertambah. Gerakan masyarakat sipil dan masyarakat adat telah membantu dengan melakukan pemetaan-pemetaan partisipatif atas wilayah adat. Mau apa lagi? Mesti menunggu apa lagi?

Maka, Arman mengatakan, “Komitmen politik yang sungguh-sungguh dari pemerintah….dinantikan oleh seluruh masyarakat adat di Nusantara.” Lalu, Noer Fauzi menutup tulisannya dengan mengatakan, “Kendala-kendala yang ada selama ini…bukanlah tantangan yang tidak bisa diatasi dengan kompetensi sumberdaya manusia, teknologi dan pengaturan kelembagaan pemerintah.”

Menurut saya, Arman dan Noer Fauzi punya kesimpulan yang sama, yaitu: kalau pemerintah mau – atau memiliki komitmen atau kehendak politik – urusan pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat bisa diselesaikan. Mereka berdua percaya pada kehendak politik pemerintah. Sikap seperti ini khas cara pandang yang instrumental mengenai negara (instrumental view of the state).

Saya punya pertanyaan mendasar kepada Arman dan Noer Fauzi. Mengapa hingga sekarang tidak terlihat komitmen politik yang sungguh-sungguh dari pemerintah? Mengapa pemerintah tidak kunjung mengatasi kendala-kendala yang sebenarnya bisa diatasi dengan kompetensi SDM, teknologi dan pengaturan kelembagaan? Apakah kita akan menunggu saja datangnya pemerintahan yang punya kehendak politik yang sungguh-sungguh itu? Ataukah kita mesti memaksa agak kehendak politik itu muncul?

Apa Kekuatan Masyarakat Adat?

Pertanyaan ini relevan kalau kita setuju dengan penilaian bahwa pengabaian pemerintah atas hak-hak masyarakat adat disebabkan oleh lemahnya gerakan masyarakat adat. Kekuatan gerakan masyarakat adat ternyata tidak cukup diperhitungkan sehingga pemerintah masih berkelit dan berdalih macam-macam terkait pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Pemerintah ternyata belum cukup takut terhadap gerakan masyarakat adat. Kekuatan penekan dari gerakan masyarakat adat masih kecil atau lemah sehingga kurang diperhitungkan.

Maka, pertanyaan strategisnya adalah bagaimana masyarakat adat bisa membuat pemerintah takut sehingga tuntutannya diperhitungkan secara serius? Apa dari rakyat – dalam hal ini masyarakat adat – yang ditakutkan oleh pemerintah? Mungkin sudah saatnya masyarakat adat menerjemahkan secara konkrit ‘ancaman’ yang sering dikumandangkan gerakan masyarakat adat, yaitu; kalau negara tidak mengakui kami, maka kami juga tidak akan mengakui negara.

Semoga Kongres Masyarakat Adat Nusantara VI yang sedang berlangsung di wilayat adat Tabi, Papua (24-30 Oktober 2022), membahas problem ini dan menemukan terobosan-terobosan penting dalam strateginya berhadapan dengan pemerintah yang telah lama abai dan bebal.( nesta/Marsen Sinaga)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *