Jayapura – PT. Freeport Indonesia (PFTI) di Mimika, Papua adalah salah satu perusahaan emas raksasa di dunia. Kehadiran, perusahaan ini menyumbang keuntungan besar bagi Pemerintah Indonesia. Namun, pengaturan lingkungannya tak terurus. Air sudah tak lagi di konsumsi oleh warga, banyak korban berjatuhan akibat longsor.
Lingkungan disekitar areal operasi perusahaan raksasa itu terkesan tak terurus. Mulai dari pembuangan tailing hingga lonsor. Warga suku Kamoro yang diam disekitar kawasan Freeport selalu mengeluhkan dampak lingkungan yang timbul akibat pembuangan tailing secara tidak teratur ke sungai yang mereka konsumsi. Berulang kali dikeluhkan tapi tak digubris. Sejak turun temurun orang-orang Kamoro di dataran rendah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua menikmati keindahan alam hutan bakau dan sagu. Bahkan kehidupan ini telah berlangsung lama dan kebiasaan membangun bivak-bivak atau dalam bahasa Kamoro disebut“Kapiri Kame”. Kapiri kame merupakan tempat tinggal sementara bagi setiap taparu atau klen untuk mencari sumber makanan bagi kehidupan mereka sehari-hari.
Wilayah Suku Kamoro hampir sebagian besar termasuk dalam areal kerja PT Freeport atau dikategorikan sebagai low land area karena berada di dataran rendah Kabupaten Mimika. Di dalam areal kontrak karya II PT FI berdiam pula delapan sub suku Kamoro antara lain, sub suku Nawaripi, sub suku Tipuka, sub suku Mwapi, sub suku Kaugapu,sub Suku Hiripau,sub suku Iwaka, subsuku Fanamo dan Omawita. Masing-masing sub suku ini terbagi pula dalam taparu-taparu. Taparu (klen) memiliki hak penguasaan dan kepemilikan masing-masing atas tanah ulayat(adat) dan sungai-sungai. Jadi kepemilikan atas sungai sangat mirip dengan kepemilikan atas tanah. Setiap taparu sudah mengenal arealnya sendiri saat mencari sumber makanannya. Bahkan untuk mengitari kawasan taparu sudah pasti memakan waktu berbulan-bulan.
Suku Kamoro juga mempunyai aturan-aturan tertentu(pranata lokal) yang berlaku secara semi otonom, untuk kehidupan ekonomi dalam mempertahankan kehidupan mereka tetap mengakui taparu (klen) yang memiliki hak milik atas tanah adat, terutama hulu dan hilir sungai-sungai di sekitar wilayah adat. Namun kehidupan mereka mulai terusik ketika PT. Freeport Indonesia mulai beroperasi sejak 1967. Saat itu demi pembangunan dan perluasan areal PT Freeport, Suku Kamoro dan Amungme telah kehilangan lahan secara berturut-turut seluas 100.000 hektar. Beberapa tahun kemudian antara 1983-1985, orang Amungme dan Kamoro kembali kehilangan tanah adat seluas 7000 hektar untuk pendirian Kota Timika. Kemudian tanah seluas 25.000 hektar kembali hilang untuk pembangunan Kota Kuala Kencana seluas 25.000 hektar (Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer, Elsam Jakarta 2003).
Dampak utama dari aktivitas PT Freeport Indonesia di Mimika, khususnya bagi masyarakat Suku Kamoro membuat sungai-sungai menjadi dangkal dan mempengaruhi kualitas air minum. Bayangkan masyarakat yang hidup di atas air atau lazimnya disebut manusia sungai, sagu dan sampan mulai sulit berperahu di atas kali yang dangkal. Bukan hanya itu saja, kualitas air minum juga mengalami perubahan berarti dan tak mungkin di konsumsi lagi. Prof Dr Karel Sesa, Ketua Program Studi Pasca Sarjana Universitas Cenderawasih dalam studinya menyebutkan, warga di Kampung Kali Kopi, Kampung Nawaripi,Kampung Nayaro,Kampung Tipuka,Kampung Koperapoka, Kampung Fanamo, dan Kampung Omawita menyatakan hadirnya PT FI di Bumi Kamoro sebanyak 10 persen bilang sumber air minum baik. Sedangkan sisanya sebanyak 90 persen menyatakan sumber air minum tidak baik alias tak layak diminum karena terkena dampak limbah tailing. Akumulasi sedimentasi tailing ke wilayah permukiman warga Kamoro akan terus meningkat seiring dengan aktivitas penambangan produksi dari 240.000 ton per bijih per hari hingga mencapai kapasitas maksimal 300.000 ton bijih per hari pada pasca penambangan 2041.
Kamis, 6 Januari 2006, Tempo.co mengabarkan PT Freeport Indonesia belum memiliki izin untuk membuang limbah tailing sisa penambangan emas dan tembaga di badan sungai Aghwagon Otonoma-Ajkwa Minajerni, Papua. “Belum ada izin dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk itu,” kata Asisten Deputi Menteri Lingkungan Hidup Urusan Pengelolaan B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) dan Limbah B3, Rasio Ridho Sani, kepada Tempo, Rabu (4/1).
Izin yang sebelumnya didapatkan dari Gubernur Irian Jaya (sekarang Papua), tegas Rasio, tidak cukup. Kini KLH tengah membicarakan soal izin tersebut dengan Freeport. Tim akan dikirim untuk mengawasi tailing yang dibuang. Pembuangan tailing oleh Freeport sebelumnya sudah berkali-kali mendapat teguran baik lisan maupun tertulis dari Menteri Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) mulai dari 1997 hingga 2001. Pada 25 Februari 1997, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal, Sarwono Kusumaatmadja, menyurati Freeport dan meminta bukti pendukung bahwa tailing yang dibuang bukan termasuk limbah B3.
Dalam surat itu, disebutkan tailing dikategorikan sebagai limbah cair dan karenanya harus mendapatkan izin khusus. Surat itu juga menyebutkan bahwa tailing telah menimbulkan kerusakan secara fisik terhadap sungai Ajkwa. Pada 12 Juni 2001, Bapedalda juga menegur Freeport karena melanggar pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1991 tentang Sungai, yang melarang pembuangan limbah padat atau cair ke dalam atau di sekitar sungai. Meski demikian, Freeport belum mau mengkonfirmasi lebih lanjut soal izin pembuangan tailing tersebut. Pada Senin, 9 Januari 2006, PT Freeport Indonesia berkeras bahwa pembuangan tailing sisa penambangan ke sungai Aghwagon-Otomona-Ajkwa merupakan pilihan terbaik.
“Audit lingkungan independen menyimpulkan pengeloaan tailing Freeport merupakan alternatif terbaik dengan mempertimbangkan keadaan geoteknik, topografi, iklim, seismolog dan mutu air yang ada,” tulis Senior Manager Corporate Communications Freeport, Siddharta Moersjid, dalam surat elektroniknya kepada Tempo, Jumat (6/1). Freeport membuang tailing berupa gerusan batuan halus dari penggilingan dan pengapungan biji mineral melewati ketiga sungai tersebut ke daerah pengendapan di daerah dataran rendah atau Managed Disposal Area (MaDA). Siddharta menyatakan tailing yang dibuang tidak beracun karena dalam memproses biji mineral tidak menggunakan sianida dan merkuri.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) pada 2001 menilai cara pembuangan tailing tersebut melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1991 tentang Sungai yang melarang pembuangan limbah padat atau cair ke dalam atau di sekitar sungai. Tailing Freeport juga dinyatakan tidak memenuhi baku mutu limbah cair yang mensyaratkan total suspended solution (TSS) atau limbah tidak terlarut sebesar 400 ppm sementara TSS tailing mencapai 4.000 ppm.
Bapedalda ketika itu meminta Freeport menghentikan pembuangan tailing ke sungai karena dinilai meruak lingkungan. Sebagai gantinya, Freeport diminta membangun sistem pemipaan untuk membuang tailing. Freeport, kata Siddharta, menolak rekomendasi tersebut karena konstruksi dan pemasangannya harus menghadapi medan yang terjal dan sulit, serta dapat mengakibatkan dampak lingkungan hidup terhadap ngarai yang dilewati pipa.
Selain itu, keutuhan pipa juga terancam oleh peristiwa alam yang ekstrim seperti tanah longsor, air bah, dan gempa bumi terhadap keutuhan jaringan pipa. Penolakan itu didasarkan pada evaluasi teknis oleh pakar dan ilmuwan yang meriset sistem yang paling tepat sesuai lokasi yang ada di Papua. Hasilnya, kata Siddharta, sistem pipa dinilai tidak tepat dengan kondisi medan yang ada. Ia uga mengatakan pengelolaan tailing terus-menerus dievaluasi dan diperbaharui untuk meminimalkan potensi resiko.
Longsor
Tak hanya pembuangan tailing bermasalah, longsor pun terus terjadi disekitar kawasan penambangan. Banyak korban berjatuhan akibat musibah alam ini. Duka cita mendalam atas tewasnya para pekerja peserta pelatihan standar prosedur keselamatan kerja PT Freeport Indonesia (PT. FI) sejak Selasa ,14 Mei 2013 hingga Selasa 21 Mei 2013 di fasilitas pelatihan Big Gossan milik Freeport di Tembagapura, Mimika. Dikabarkan, akibat longsor itu, sekitar 38 orang telah tertimbun reruntuhan terowongan tambang bawah tanah tersebut. Sebanyak 21 orang telah ditemukan meninggal, 10 orang mengalami cidera dan dalam perawatan, sementara 7 lainnya masih dalam upaya pencarian, dan kecil kemungkinan akan ditemukan selamat. Bencana longsor ini telah mengakibatkan kematian terbesar yang diketahui dalam sejarah kelongsoran tambang PT. FI.
Menurut laporan Sapariah Saturi di Mogabay-Indonesia, longsor tambang Freeport bukanlah kali pertama, dan bukan kali pertama pula kasusnya menghilang tanpa kejelasan begitu saja. Pada 23 Maret 2006 tiga pekerja perusahaan PT. Pontil, subkontraktor PT. Freeport, tewas akibat longsor di areal pertambangan. Seperti halnya kejadian longsor Big Gossan, PT. FI menyatakan bekerjasama dengan kementerian ESDM untuk mencari penyebab longsor, namun hasilnya tak pernah diketahui publik. Pada 9 Oktober 2003, menurut laporan Down To Earth, longsor besar di Grasberg mengakibatkan 8 orang tewas dan 5 luka-luka. Dinding selatan galian tambang runtuh dan 2,3 juta ton batuan dan lumpur menggelosor menerjang para pekerja tambang. Ironis, karena menurut Sydney Morning Herald, Freeport sebetulnya telah mengetahui peringatan bencana namun membiarkan para pekerja memasuki wilayah bahaya, padahal para pekerjapun telah memberi peringatan pada pimpinan operasi tentang potensi bahaya tersebut.Kementerian Energi dan Pertambangan membentuk tim penyelidik, namun tidak jelas siapa yang dimintai pertanggungjawaban.
Sementara Rozik B Soethibto, Presiden Direktur PT. FI, mengatakan akan melakukan penyelidikan menyeluruh pasca penyelamatan dengan melibatkan tenaga ahli internasional dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta akan memastikan kejadian ini tidak terulang. Demikian pula SBY dalam pesan twitternya. Namun tak satupun dari mereka yang mengingatkan kita pada nasib penyelidikan 7 tahun sebelumnya, yang berujung tidak jelas. Tentu kita kerap mengerti bahwa dalam setiap tragedi yang menewaskan orang-orang tidak bersalah seperti ini, dimana para pemangku kepentingan dan pertanggungjawaban menjadi sorotan publik, janji-janji penyelidikan akan diumbar, dan ketika sorotan itu meredum dan menghilang, janji tinggallah janji tak bertuan. Sekarang berbondong-bondong pejabat datang menyetor muka dan belasungkawa ke lokasi kejadian. Setelah CEO dan Presiden perusahaan induk Freeport McMoran dan Gold Inc Richard Adkerson datang ke Timika 18 Mei lalu, Tim Pemantau Otonomi Khusus Papua dan Aceh didampingi Wakil ketua DPR dan tim DPR lainnya juga tak ketinggalan berencana mengunjungi.
Terakhir dikabarkan Menteri ESDM, Jero Wacik, dan Menteri Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, ditolak kedatangannya oleh PT. FI dengan alasan proses evakuasi yang masih berlangsung. Walau SBY menyatakan akan tetap mengirimkan kedua menteri tersebut, namun tetap saja permintaan Freeport tersebut diindahkan pemerintah untuk tak segera mendatangani lokasi kejadian tersebut. Memang kuasa Freeport sudah seperti negara di dalam negara, apalagi jika kita usut sejarahnya berikut ini. (M-JERAT)