Berdasarkan penelusuran data di internet, berbagai kasus lingkungan untuk Papua paling banyak muncul di website suarapapua.com dimana terdapat kolom khusus lingkungan yang sangat membantu siapapun yang membutuhkan data terkait lingkungan di Papua.
Muncul 23 berita terkait lingkungan pada empat media yaitu di dua media online lokal Papua yaitu suarapapua.com dan tabloidjubi.com. Sedangkan untuk media nasional yaitu ANTARA dan tribunnews.com. Masalah lingkungan juga muncul di beberapa media nasional tetapi dengan isu yang sama.

PT Freeport Indonesia
Dari berbagai kasus, yang paling menonjol adalah PT Freeport Indonesia. Di awal tahun ini, PT Freeport Indonesia dikabarkan menunjuk mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Maroef Sjamsoeddin, sebagai presiden direktur yang baru menggantikan Rozik B. Soetjipto yang akan memasuki masa pensiun dalam waktu dekat.

Selain pergantian presiden direktur tersebut, persoalan pembangunan smelter PT. Freeport Indonesia menjadi soroton banyak media, baik di Papua dan di tingkat nasional. Pemerintah Indonesia yang awalnya merencanakan pembangunan smelter ini di Gresik, Jawa Timur mendapat perlawanan dari Pemerintah Daerah Provinsi dalam hal ini Gubernur, Lukas Enembe.

Berbagai upaya dilakukan Lukas Enembe agar smelter PT Freeport Indonesia dibangun di Papua. Lukas Enembe mengajak serta bupati-bupati se-Papua untukmendukung sikap politiknya yang meminta smelter PT Freeport harus dibangun di Papua ini. Tidak tanggung-tanggung, Lukas Enembe mengancam akan mengusir keluar PT Freeport Indonesia dari Papua bila smelter tersebut dibangun di luar Papua.

Salah satu anggota Komisi VII DPR, Tony Wardoyo mendesak juga mendesak PT Freeport Indonesia agar mendirikan smelter di Papua dan pemerintah harus membuat regulasi tentang pembangunan smelter tersebut. Sementara itu,sebagian tokoh masyarakat adat di sekitar tempat Freeport beroperasi menganggap konflik penembakan di Timika adalah skenario aparat keamanan dalam merebut posisi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia.

Gelombang proteslainnya berasal dari Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, John NR Gobai walau tidak berbicara tentang smelter. Gobay mengatakan, PT Freeport Indonesia (PT FI) harus melibatkan masyarakat adat dalam peninjauan ulang Kontrak Karya II karena masyarakat adat adalah pemilik hak ulayat atas tanah yang dieksploitasi besar-besaran oleh PT Freeport Indonesia.

PT Nabire Baru, Perusahaan Kelapa Sawit

Persoalan lingkungan yang juga cukup menonjol setelah Freeport di media massa pada Januari 2015 adalah dampak lingkungan dan sosial yang disebabkan kehadiran PT Nabire Baru, sebuah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Nabire. Beberapa tahun terakhir, kawasan hutan lindung terus ditebang oleh pihak perusahaan bersama oknum aparat keamanan. Daerah Wami dan Sima, Distrik Yaur, bagian barat Nabire, misalnya, puluhan hektar hutan saat ini rusak akibat penebangan liar.

Untuk kondisi ini, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta mengutuk tindakan perusahaan kelapa sawit yang menggunakan jasa aparat keamanan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat pemilik hak ulayat di Kampung Sima, Nabire, Papua.

Untuk kebutuhan lahan tanah, Daerah Keramat dan Dusun Sagu Dibabat Habis PT Nabire Baru. Daerah keramat yang selama ini dirawat masyarakat Suku Waoha, Koroba, Sarakwari dan Akaba, dibabat habis perusahaan. Dusun sagu sebagai sumber penghidupan mereka juga ikut dibabat habis.
Tidak tinggal diam melihat kondisi ini, Masyarakat Adat Suku Besar Yerisiam yang terdiri dari empat suku di dalamnya menyatakan komitmen untuk segera menutup perusahaan perkebunan kelapa sawit di kampung Wami dan Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Papua.

Penambangan Liar di Dageuwo
Masalah lama lain yang masih belum dituntaskan Pemerintah tetap mendapat pengawalan atas keberlanjutan kasus. LPMA Swamemo dengan tuntutan yang sama sejak beberapa tahun silam juga muncul kembali di media masa pada Januari 2015 ini. Penambangan liar tetap menjadi fokus lembaga ini.

Instruksi Pemerintah untuk memberhentikan kegiatan pertambangan emas di sepanjang Sungai Degeuwo, Kabupaten Paniai, Papua, dalam Surat Keputusan Gubernur Papua Nomor 1 tahun 2011, tentang pemberhentian kegiatan penambangan emas ilegal tanpa ijin di seluruh wilayah Papua dan Instruksi Bupati Kabupaten Paniai dengan Nomor 53 tahun 2009, tentang penutupan lokasi penambangan emas belum ditindaklanjutimembuat gerah LPMA Swamemo.

LPMA Swamemo meminta tiga perusahaan ilegal yang sedang beroperasi seperti PT Martha Minning, milik Ibu Antoh; PT Madinah Qurrata’ain, milik Haji Hari dan CV Komputer milik Haji Marzuki untuk segera patuhi kebijakan pemerintah yaitu meninggalkan Dageuwo.

Masalah Lingkungan Lainnya
Masalah Lingkungan Lainnya yang juga mendapat perhatian media massa adalah kerusakan cagar alam di Biak yang disoroti Dewan Adat Biak. Sedangkan di Merauke, untuk mengantisipasi wabah demam berdarah, Bupati Mbaraka menghimbau masyarakat untuk jaga kebersihan lingkungan.
Di Kabupaten Jayapura, terkait illegal logging, Tim kriminal khusus Polda Papua menahan lima truk mengangkut kayu jenis merbau atau kayu besi, pada Rabu (07/01/2015) lalu. Penahananan dilakukan di sekitar kampung Sentosa KM 55 Distrik Unurumguai, Kabupaten Jayapura, Papua.

Di Biak, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Biak Numfor, hingga 2015 masih kekurangan tenaga teknis ahli lingkungan sehingga belum optimal dalam pengoperasian laboratorium yang dimiliki.

Di Wamena, Bupati Kabupaten Jayawijaya, John Wempi Wetipo memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) segera membongkar gubuk-gubuk kecil yang dibangun oleh masyarakat di Baliem Cottage, pasca penggusuran beberapa waktu lalu. (*)

Analisis Lingkungan, Januari 2015
PT Freeport Indonesia (PT FI) yang dikabarkan menunjuk mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Maroef Sjamsoeddin, sebagai presiden direktur yang baru menggantikan Rozik B. Soetjipto merupakan upaya pendekatan pengamanan asset kapitalis di Papua. Upaya ini bertujuan mendekatkan rentang komando militer dari daerah ke pusat demi menekan berbagai pengeluaran di bidang keamanan.

Bukan lagi rahasia, kehadiran PT FI sejak 1967 di Papua merupakan anugrah bagi aparat ABRI saat itu tetapi merupakan bencana bagi Rakyat Papua. Berbagai konflik dimunculkan di wilayah sekitar penambangan, baik konflik vertikal maupun horizontal demi mendapat proyek pengamanan dari perusahaan yang terus menerus mengeruk isi bumi Papua ini.

Kesadaran kritis masyarakat di sekitar wilayah pertambangan yang tidak pernah muncul menumbuhsuburkan kekerasan dan konflik yang meminta korban jiwa setiap saat. Riak protes dari masyarakat adat tidak berdampak terhadap proses operasi PT FI. Penggunaan kekuatan militer Indonesia sangat Pasca gagal memperjuangkan Otsus Plus di Jakarta pada 2013 lalu, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe lalu memperjuangkan pembangunan smelter PT FI di Papua saat pemerintah merencanakan pembangunannya di Gresik, Jawa Timur karena berbagai pertimbangan. Anggota Komisi VII DPR, Tony Wardoyo juga ikut mendesak PT FI mendirikan smelter di Papua, bukan hanya smelter tetapi menurutnya, pemerintah juga harus membuat regulasi tentang pembangunan smelter tersebut.

Berbagai upaya dilakukan demi ‘kenyamanan’ PT FI dalam beroperasi padahal keuntungan yang diperoleh PT FI selama ini tidak sebanding dengan apa yang diberikan PT FI kepada masyarakat pemilik tanah yang dieksplorasi dan dieksploitasi sedemikian rupa. Sampai akhir Januari, belum ada keputusan dari Pemerintah Indonesia, di mana akan dibangun smelter PT FI ini.

Pembangunan smelter bukan seperti membangun sebuah (rumah took) yang lagi trend di kota-kota besar di Papua. Dampak negatif akan lebih banyak dinikmati masyarakat adat Papua sedangkan keuntungan terbesarnya tentu dinikmati perusahaan kapitalis ini. Hanya demi memenuhi ambisi politik, Gubernur memperjuangkan sesuatu yang akan manjadi masalah baru bagi masyarakat Papua.

Selanjutnya adalah kehadiran PT. Nabire Baru, sebuah perusahaan pengelola kelapa sawit yang menjadi masalah bagi masyarakat adat di Nabire. Seperti kisah perusahaan kelapa sawit lainnya di Tanah Papua, proses masuknya persusahaan ini dengan cara-cara tidak patut dan sangat merugikan pemilik ulayat tanah. Tanda tangan atau cap jempol tetua adat melegalkan beroperasinya perusahaan ini dengan meminggirkan masyarakat adat. Kondisi yang sama dialami masyarakat adat Papua di tempat lain yang wilayahnya dimasuki perusahaan sawit.

Pengamanan perusahaan dengan menggunakan aparat keamanan sangat meresahkan masyarakat. Demi kenyamanan perusahaan, tidak tanggung-tanggung pihak aparat keamanan memberikan label separatis atau OPM kepada pemilik ulayat tanah untuk dapat menangkap dan menahan mereka. Pola pecah belah yang digunakan perusahaan sawit dalam memecah masyarakat adat masih sangat efektif karena uang menjadi tawaran menggiurkan tetua adat maupun kepala suku.

Advokasi yang dilakukan berbagai lembaga lingkungan tidak berarti apa-apa bila pada akhirnya masyarakat adat pemilik hak ulayat tanah ‘berkompromi’ dengan pemilik perusahaan kelapa sawit. Belajar dari pengalaman, diperlukan strategi advokasi yang lebih kuat dimana masyarakat adat harus lebih mengenal jati diri dan harga dirinya agar tidak mudah dibeli dengan uang.
Berbagai gerakan penolakan kehadiran perusahaan sawit harus menjadi perlawanan bersama karena bila tidak, Papua hanya akan menjadi sejarah umat manusia.

Persoalan lingkungan hampir merata di seluruh Tanah Papua. Tidak ada satupun wilayah yang bebas dari masalah lingkungan dan Freeport adalah masalah terbesar bagi Orang Papua. Terlepas dari apapun itu, lingkungan adalah masalah manusia di masa mendatang. Ketidakseimbangan lingkungan akan menjadi bencana tersendiri bagi manusia.

Banjir adalah contoh terdekat yang dapat dirasakan manusia modern. Di kota-kota besar di Papua yang telah mengalami banjir dan hal ini tentu tidak terjadi tanpa sebab. Pembabatan hutan lindung dan hutan-hutan penyangga yang digunakan untuk pemukiman karena arus imigrasi yang tak terbendung menjadi penyebab utama banjir ini.

Semua yang terjadi dalam hidup manusia modern hari ini adalah hal yang saling terkait. Pihak yang paling diuntungkan dalam masalah ini adalah aparat keamanan yang dalam mengamankan perusahaan juga dapat melakukan bisnis militer termasuk penjualan kayu-kayu hasil penebangan wilayah (clearing area) dijual berdasarkan kesepakatan-kesepakatan dengan pihak perusahaan.

Bencana alam yang dialami manusia bukanlah semata kehendak Tuhan tetapi disebabkan ketamakan manusia lain menguasai bumi dan isinya. (Trand Analisis JERAT Papua)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *