PEMERINTAH HARUS EVALUASI RENCANA DOB DAN USUT PENEMBAK UNJUK RASA TOLAK DOB di PAPUA

0
83
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid. Ist
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid. Ist

 JERAT PAPUA.ORG, JAKARTA – Kasus penembakan peserta unjuk rasa tolak Daerah Otonom Baru (DOB) Papua adalah dampak kebijakan pemekaran daerah yang tergesa-gesa. Korban jiwa yang jatuh di Yahukimo ialah bukti masih adanya watak represif negara dalam mengamankan penyampaian pendapat di muka umum. Karenanya pemerintah perlu mengevaluasi rencana DOB itu dan mengusut pelaku kekerasan terhadap pemrotes.

Hal tersebut dibahas dalam Media Briefing bertajuk Membedah Polemik Kekerasan Di Papua Terhadap Implementasi Otsus Dan Rencana Pemekaran Wilayah Di Papua yang dihadiri oleh Yoel Luiz Mulait, Yuliana Wambraw, Benny Suwendy (Majelis Rakyat Papua), Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komnas HAM) dan Cahyo Pamungkas (Peneliti BRIN). Dalam pengantar diskusi, beberapa pihak menyayangkan ketidakhadiran dari perwakilan Staf Khusus Kemendagri yaitu Kastorius Sinaga dan Kantor Staf Presiden RI diwakili oleh Theofransus L.A. Litaay yang mendadak tidak dapat hadir.

Direktur Public Virtue Institute Miya Irawati mengatakan, meluasnya protes penolakan DOB melalui demonstrasi di sejumlah kabupaten dan kota seperti Wamena, Jayapura, dan Yahukimo adalah bukti tidak partisipatifnya kebijakan pemerintah khususnya Menteri Dalam Negeri dalam membentuk DOB di Papua. “Pemerintah terlalu memaksakan kebijakannya pasca revisi kedua UU Otsus. Selain itu, petugas polisi di Papua, katanya, seperti tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat,“ kata Miya Irawati dalam keterangan tertulis usai Media Briefing pada Kamis, 24 Maret 2022.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI/BRIN) Cahyo Pamungkas menjelaskan dua persoalan pokok Papua saat ini. Pertama, siklus kekerasan politik yang mengakibatkan korban sipil dan pengungsian. Kedua, revisi kedua UU Otsus Papua dan kebijakan pemekaran Wilayah yang memicu pro dan kontra Revisi.

“Dua masalah ini berakibat tidak adanya rasa aman yang memperkuat penderitaan masa lalu orang Papua, minimnya akses masyarakat terhadap pelayanan publik di Pegunungan Tengah, serta ketidakpercayaan dan polarisasi antarorang Papua maupun antara Papua dan non- Papua. Pemerintah perlu konsultasi publik yang inklusif di 7 wilayah adat, mendengarkan aspirasi semua kelompok: mencari titik tengah. Salah satu solusi itu adalah dialog dan jeda kemanusiaan,” kata Cahyo.

Sementara itu Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Yoel Luiz Mulait juga mempertanyakan sikap pemerintah yang tampak terus mendorong pembentukan DOB. Langkah pemerintah seharusnya membuat pernyataan yang menegaskan pemerintah akan mengevaluasi rencana pemekaran dengan mempertimbangkan kesiapan dan ketersediaan sumber daya manusia, maupun kesatuan sosial dan budaya serta mencegah adanya konflik baru.

“Memang ada demonstrasi mendukung DOB seperti di Merauke dan Sorong, tapi jumlahnya kecil. Polri tidak boleh bertindak di luar batas saat penyampaian pendapat. Pemerintah juga perlu mensosialisasikan UU Otsus yang baru setelah melakukan revisi sepihak dan tak bisa serta merta memaksakan pelaksanaan UU itu dengan pemekaran wilayah. Akibatnya, kebijakan pemerintah menjadi kontraproduktif dengan tingginya arus penolakan masyarakat di bawah,“ kata Yoel.

“Intinya kami berharap bahwa pemerintah bisa membuat pernyataan untuk mengobati rasa kecewa masyarakat Papua karena sudah jatuh korban. Tidak boleh ada lagi tindakan tembak di tempat bagi peserta aksi unjuk rasa seperti di Yahukimo. Petugas harus dapat membedakan mana pelaku yang mengancam keselamatan orang lain dan mana yang tidak. Pelaku yang melanggar hukum seyogyanya ditindak secara proporsional. Misalnya dengan mengupayakan menangkap pelaku sesuai hukum dan manusiawi tanpa penganiayaan, penyeretan, pelecehan dan lain-lain,” kata Yoel.

“Di Wamena dan wilayah lainnya unjuk rasa sangat besar tetapi tidak ada satu pun yang berujung kekerasan mematikan. Petugas pun diapresiasi. Seharusnya di Yahukimo juga begitu, tidak ada kekerasan yang eksesif. Pemerintah juga tidak boleh berdiam diri. Aspirasi penolakan DOB mereka harus didengarkan. Paling tidak, pemerintah harus menunda DOB hingga Mahkamah Konstitusi memutuskan uji materi terhadap UU yang menjadi dasar dilakukannya pembentukan DOB. Atau pemerintah harus mengevaluasi segera rencana DOB tersebut” lanjutnya.

Dengan demikian penggunaan peluru tajam dalam pengamanan aksi unjuk rasa di Papua, tentu harus diusut tuntas dan dan pelaku diadili serta dihukum sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku.

“Pemerintah perlu mendengar aspirasi rakyat Papua yang menolak DOB. Polri harus mengusut tuntas kekerasan ini, agar tidak menjadi preseden buruk yang mencoreng pelaksanaan desentralisasi politik pemerintahan yang sudah terjaga dengan baik melalui UU Otsus versi tahun 2001,” pungkasnya

Senada dengan hal tersebut, Beka Ulung Hapsara selaku Komisioner Komnas HAM RI juga menyampaikan agar pemerintah harus menjamin pendekatan yang ada tidak lagi pendekatan keamanan, sehingga tidak ada korban jiwa. Semua pelaku kekerasan harus juga diberi sanksi, juga secara transparan harus disampaikan di publik.

“Komnas HAM ingin menjaga spirit bahwa penyelesaian siklus kekerasan, keadilan, kesejahteraan, dan pelanggaran HAM akan ada di dialog damai. Bagaimana kita meletakkan dialog damai sekarang? Paling memungkinkan untuk menurunkan angka kekerasan dan membuka ruang bagi operasi kemanusiaan. Lalu, kita mencoba untuk membangun solusi permanen terhadap Papua,” ujar Beka. (nesta/amnesty)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here