Masyarakat adat suku Awyu Boven digoel saat mengenakan pakaian adat dan peralatan perang sepeti Panah dan Tombak , foto : nesta/jeratpapua.orgMasyarakat adat suku Awyu Boven digoel saat mengenakan pakaian adat dan peralatan perang sepeti Panah dan Tombak , foto : nesta/jeratpapua.org

SUKU AWYU :  KAMI AKAN  MEMPERTAHANKAN HUTAN  SEBAGAI BUDAYA DAN KEHIDUPAN KAMI

JERAT PAPUA.ORG, TANAH MERAH – Meski  Pengadilan Tata Usaha Negara  PTUN Jayapura telah menjatuhkan putusan, menolak segala gugatan Masyarakat Adat Marga Woro  Suku Awyu yang memperjuangkan tanah adatnya, yang di rampas oleh Perusahaan Perkebunan Kelapa  Sawit PT Indo Asiana Lestari pada 2 November 2023 lalu. Tidak menggoyahkan tekat kuat Masyarakat adat suku Awyu untuk tetap mempertahankan  tanah dan hutanya dari pihak Investor.

Komitemen kuat masyarakat adat ini tidak main-main , bahkan telah di tuangkan dalam sebuah keputusan bersama pada musyawarah besar masyarakat adat Suku Awyu yang di gelar beberapa waktu lalu di Bovendigoel Provinsi Papua selatan.

Kesepakatan bersama ini tertuang dalam beberapa keputusan atau point-point yang menjadi sebuah rambu dank ode keras kepada pihak manapun yang mempunyai niat untuk menggagu hak ulayat , tanah dan hutan mereka dari kerusakan dan penggusuran.

Keputusan Masyarakat Adat suku Awyu tersebut bahkan tetuang dalam keputusan bersama yang termuat dalam 7 point pernyataan,  pada point 4. berbunyi  “ Seluruh Masyarakat Hukum Adat Suku Awyu, mempunyai Hasil kekayaan alam dan hidup ketergantungan pada alam Tempat mereka tinggal sejak Nenek Moyang Leluhur dengan menjaga Hutan , dan Hutan Menjaga Saya.”

Kasimilus Awe Ketua Tim Paralegal Suku Awyu menegaskan tanah dan hutan adalah sumber hidup  pada khususnya suku Awyu, hal itu beralasan di karenakan minimnya sumberdaya manusia suku awyu sehingga kebanyakan dari mereka menggantungkan hidupnya di hutan sebagai sumber utama kehidupan dan budaya sejak nenek moyang leluhur mereka.

“tanah dan hutan adalah sumber kehidupan kami , kami belum punya sumberdaya manusia yang cukup , sehingga sebagian besar dari kami suku awyu hidup di alam / hutan “tutur Kasimilus Awe.

Selain itu Kasimilus Awe juga mengungkapkan bahkan beberapa alasan yang membuat mereka terus berjuang mempertahankan wilayah adatnya, karena mereka adalah satu satu suku yang merupakan bagian dari suku primitive di dalam republik Indonesia  yang menggantungkan kehidupannya dari alam sekitar. Alasan kuat suku awyuh ini dikarenakan sebagian besar dari masih meramu ,Raba Ikan (menangkap ikan menggunakan Kamboti anyaman daun sagu) dan panggkur sagu

“kami tidak bisa menyangkal itu , kami masih meramu , rabah ikan dan pangkur sagu bapa masih pake busur berburu, yang membuat kita bersikuku menolak hutan kami di rusak “ungkapnya.

Alasan lain yakni perusahaan perkebunan kelapa sawit hadir di wilayah adat mereka dengan cara-cara yang tidak manusiawi , dimana masyarakat di paksa untuk tidak bicara dan menyampaikan pendapatkan mereka  sesuai musyawarah mufakat untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Namun cara perusahaan sepihak dengan memaksa masyarakat adat untuk mengakui kesepakatan yang telah mereka buat dengan mengklain sepihak 80/20 . yang artinya 80 persen penghasilan perkebunan milik perusahaan dan 20 persen sisanya kepada masyarakat adat.

Sangat tidak adil sebuah niscaya keputusan yang mengesampingkan mereka sebagai pemilik ulayah sebagai pewaris Tanah leluhurnya namun investasi ini bahkan di klaim oleh Kasimilus Awe sangat merugikan mereka.

“kami tidak diberikan kesempatan, kami semua duduk diam dam perusahaan dia menyampaikan ke kami tentang rencana kegiatan perusahaan serta luas lokasi yang dia butuhkan, seakan itu mereka sudah atur sendiri “kata Kasimilus Awe.

Luas Wilayah yang di klaim oleh perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang berada di wilayah adat masyarakat Hukum Adat suku Awyu terletak di Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel tersebut seluas 30.190 (tiga puluh ribuh seratus Sembilan puluh)  hektar .

Fakta lain dari proses keras suku awyu untuk mempertahankan wilayahnya sekaligus melakukan banding ke PTUN Manado Sulawesi Utara, sebagaimana perusahan perkebunan sawit ini menggunakan jasa warga lokal untuk dibenturkan sesama mereka sebagai masyarakat adat yang pro dan Kontra sehingga geming bahwa tindakan dan langkah investasi mereka dengan dalih didukung oleh masyarakat adat, dengan bukti pemberian insentif atau semacam upah kepala kepala Marga keret sebesar Rp. 1.200.000 (satu juta duaratus ribu rupiah ).

“karena mereka anggap honor berjalan setiap bulan, akhirnya perusahaan memanfaatkan ketua marga untuk mengancam dan membenturkan dengan kita “ jelasnya.

Kasimilus bersikeras untuk tetap memperjuangkan dan mempertahankan tanah dan hutan adat mereka ,karena tanah dan hutan merupakan sumber kehidupan mereka .

“bagaimanapun kami tetap keras, kami punya barang karena tanah dan hutan di dalamnya sumber kehidupan dan nilai-nilai budaya yang hidup di situ “tegasnya.

Frangky Woro dari Marga Woro Suku Awyu mengatakan perjuangan mereka mempertahankan tanah dan hutan sebagai sebagai sumber kehidupan, dan juga bagian dari kesatuan Budaya besar orang awyu yang berada di Distrik Fofi sehingga adat istiadat , bahasa, mata pencahaarian yang sudah menjadi turun –temurun masyarakat adat awyu dari nenek moyong harus di jaga dan di selamatkan dari orang-orang yang datang dan merusak .

“saya berharap pemerintah harus tegas melihat perjuangan masyarakat adat , ijin-ijin itu harus segera di cabut apapun alasannya “harap Frangky Woro

Frengky Woro bahkan berharap bahwa kegiatan penggusuran hutan yang di lakukan perusahaan perkebunan kelapa Sawit di atas tanah adat mereka untuk segera berhenti.

Dirinya berharap generasai penerus suku Awyu untuk serius menjaga tradisi orang awyu yang selalu menggantungkan hidup mereka dari hutan mereka sebagai bank bagi masyarakat adat.

Tim Kuasa Hukum Masyarakat Adat Awyu Tigor Hutapea mengakui adanya banding yang di layangkan tim kuasa hukum masyarakat adat suku Awyu ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN Manado Sulawesi Utara pada kamis, 23 November 2023 lalu.

Ada beberapa alasan sehingga  banding di lakukan oleh tim kuasa hukum berkaitan dengan putusan yang di sampaikan oleh hakim PTUN Jayapura, dimana majelis hakim salah menggunkan pasal dalam menermahkan UU Lingkungan seharusnya hakim menilai sejak awal pengumuman rencana usaha tersebut di lakukan sampai terbitnya ijin persetujuan lingkungan adalah proses yang harus di nilai oleh hakim.

“ hakim tidak melihat ini secara keseluruhan , kami melihat hakim salah menilai itu “ungkap Tigor Hutapea Anggota Tim Kuasa Hukum Masyarakat Adat Awyu.

Selain itu hakim juga dinilai tidak mempertimbangkan adanya pelanggaran yang di lakukan oleh PTSP Provinsi Papua, dimana pengumuman ijin di lakukan setelah lima hari yang di tentukan oleh undang-undang .

“ketika Ijin dikeluarkan seharusnya lima hari mereka sudah harus mengumumkan , tapi lewat dari lima hari seharusnya hakim melihat ini dan menyatakan terjadi pelanggaran prosedur “jelasnya.

Hakim PTUN Jayapura juga di nilai salah menermahka adanya surat dari Lembaga Masyarakat Adat dinilai adanya partisipasi publik. Sehingga prosedur ini tidak dibenarkan untuk menjadi patokan Hakim, melainkan Partisipasi public dari surat Lembaga Masyarakat adat yang di maksudkan perlu partisipasi secara langsung oleh masyarakat adat bersangkutan yang bersentuhan langusung dengan tanah dan hutan adatnya.

“ kami menilai surat tersebut tidak bisa dijadikan patokan, harusnya partisipasi public di nilai oleh langsung masyarakat adatnya “ pungkasnya.

Masyarakat adat Awyu berkomitmen untuk tetap berjuang demi mempertahankan hutan mereka dengan banding yang di layangkan oleh tim kuasa hukum di PTUN Manado Sulawesi Utara. (nesta )   

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *