Masyarakat Adat Dalam Bayangan Perampasan Lahan Papua

0
991
Aktifitas Penebangan Kayu di Hutan Papua ( Foto Dukumentasi Jerat Papua)
Aktifitas Penebangan Kayu di Hutan Papua ( Foto Dukumentasi Jerat Papua)

Jayapura, JERAT Papua.– Catatan Jaringan Kerja Rakyat Papua (Jerat) beberapa tahun terakhir , masyarakat adat dibayang-bayangi dengan perampasan lahan. Ada keterlibatan Negara melalui kebijakan yang ikut menggerus hak hidup masyarakat adat, hingga mengakibatkan kasus perampasan lahan dan deforestasi di Papua menjadi sesuatu yang lumrah untuk disaksikan setiap hari. Dapat juga dilihat dari pemberi ijin baru untuk beberapa perusahaan perkebunan dan pertambangan serta pengalihan fungsi hutan tanpa melalui mekanisme yang benar karena sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik mutlak atas tanahnya.

Dari data yang dikeluarkan oleh koalisi peduli lingkungan yang berjudul “Perampasan Tanah, Kekerasan dan Deforestasi di Papua” pada Tahun 2017, Negara mengatur dan mengkonstruksi pola dan struktur ruang, fungsi dan peruntukan kawasan hutan berdasarkan pengetahuan formal dan kepentingan ekonomi yang terkadang kontradiktif dengan nilai dan pengetahuan masyarakat. Pada kurun waktu tersebut, pemerintah telah menerbitkan izin-izin baru untuk perkebunan dan pertambangan, diantaranya : Perusahaan Perkebunan dan Pertambangan. Untuk perkebunan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKH) memberikan ijin kepada PT. Bangun Mappi Mandiri di Kabupaten Mappi Juli 2017 seluas 18.006 hektar, PT. Agriprima Cipta Persada di Kabupaten Merauke Juli 2017 sebanyak 6.200 hektar dan PT Menara Wasior di Kabupaten Teluk Wondama pada September 2017 dengan luasan 28.880 hektar. Jadi, total izin baru perkebunan sawit pada Tahun 2017 untuk tiga perusahaan 53.806 hektar.

Sama halnya dengan perkebunan, ijin yang dikeluarkan juga untuk 6 perusahaan pertambangan yakni 4 pertambangan di Papua : PT. Wira Emas Persada di Nabire 1.242 Ha, PT Aurum Wira Persada di Nabire 13.880 Ha, PT Trident Global Garmindo 17.830 Ha, PT Madinah Qurrata’ain di Dogiyai 23.340 Ha serta juga 2 perusahaan di Papua Barat : PT Bayu Khatulistiwa Sejahtera di Manokwari, eskplorasi emas, 7.741 Ha dan PT Dharma Nusa Persada 20.805 Ha.

Demikian halnya pada Maret 2017, Menteri LHK juga membuat keputusan Nomor SK.172/Menlhk/Setjen/PLA.2/3/ 2017, tentang perubahan alih fungsi hutan lindung Momi Anggi di Gunung Botak, Manokwari Selatan, seluas 2.318 Ha. Peruntukannya, antara lain jadi hutan produksi konversi (HPK) 231 Ha & hutan produksi terbatas (HPT) 2.100 Ha. Keputusan ini, diduga mengakomodasi kepentingan perusahaan tambang pasir kuarsa PT SDIC. Selain itu, pembongkaran & penggusuran hutan untuk kepentingan perusahaan sawit dalam jumlah cukup luas juga terjadi selama 2017.  Perusahaan yang membongkar dan penggusuran hutan untuk kebun sawit antara lain, PT Agriprima Persada Mulia di Merauke, PT Kartika Cipta Pratama di Boven Digoel dan PT Permata Putera Mandiri di Sorong Selatan.

Kebijakan dan praktek pembangunan yang kontradikstif, tidak adil, melanggar HAM, merugikan masyarakat adat dan hanya menguntungkan pengusaha dan penguasa. Selain itu, akan menimbulkan gejolak perlawanan kritis yang meluas di Papua, dimotori oleh organisasi masyarakat sipil, organisasi keagamaan, mahasiswa, kelompok studi, hingga aktivis pemuda di kampung.

Negara mempunyai otoritas luas dalam mengontrol dan menentukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Kebijakan-kebijakan seperti pemberian ijin untuk beberapa perusahaan seperti perkebunan dan pertambangan, alih fungsi hutan dan implementasi reforma agraria dilakukan tanpa musyawarah dan kesepakatan dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat

“Di Tanah Papua, negara mempunyai otoritas luas mengkontrol dan menentukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, ” kata Franky Simparante, Direktur Yayasan Pusaka.

Perlunya Koalisi

Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua mencatat maraknya perampasan tanah adat yang dilakukan oleh perusahaan di Tanah Papua, sehingga perlu bekerja sama dengan semua pihak untuk mengontrol dan mengawasi kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada masyarakat.

“Selama ini, memang penguasa dan perusahaan dengan semena-mena melakukan perampasan tanah adat, dilakukan dengan cara-cara legal namun menyusahkan masyarakat pemilik hak ulayat. Maka JERAT Papua merasa harus segera melakukan tindakan-tindakan dengan cara mengadvokasinya segera” ucap Wirya Supriyadi (Koordinator Bidang Advokasi) dalam diskusi di Sekretariat JERAT Papua.

Merasa miris dengan kondisi yang terjadi di atas Tanah Papua, JERAT Papua dalam beberapa waktu lalu, tepatnya 22 Maret 2019 telah membentuk sebuah koalisi yang diberi nama : Jang Rampas Tanah (JangRampasT). Koalisi ini sendiri terdiri dari korban investasi, akademisi, advokad, Civil Society Organization (CSO) dan mahasiswa.

“Salah satu kerja dari koalisi JangRampasT adalah mengadvokasi kebijakan-kebijakan, terutama ijin-ijin yang telah dikeluarkan pemerintah, sehingga JERAT Papua tidak bisa bekerja sendiri, isu ini menjadi kerja kita bersama” lanjut Wirya Supriyadi.

Modus perusahaan di Tanah Papua hampir sama, yaitu memberikan janji-janji kepada masyarakat pemilik hak ulayat dengan iming-iming pemberian beasiswa bagi anak yang hendak sekolah, pembangunan jalan, pembangunan rumah layak huni dan lain-lain. Kenyataannya hampir semuanya tidak terlaksana seperti dijanjikan perusahaan, malah yang terjadi adalah perampasan tanah adat, juga hilangnya akses kontrol terhadap wilayah kelola masyarakat adat.

Gejolak Perlawanan

Akibat dari kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, maka lahirlah gejolak perlawanan masyarakat adat di Papua, diantaranya Masyarakat Moi Klaben di Distrik Klausol menolak hadirnya PT. Mega Mustika Plantation, Masyarakat Adat Mairasy di Kabupaten Wondama menolak hadirnya PT. Menara Wasior dan PT Kurnia Tama Sejahtera (KTS), namun tetap saja PT. KTS beroperasi sehingga menimbulkan konflik antar masyarakat pemilik hak ulayat,  kemudian Masyarakat Adat Yimnawai Gir di Arso, Kabupaten Keerom ketika konflik dan protes ke PTPN II, dan Suku Yerisiam dari Kampung Sima Distrik Yaur, Nabire soal PT. Pasific Mining Jaya. organisasi mahasiswa dan pemuda Papua di Kota Jayapura protes peradilan atas PT. Pasific Mining Jaya.

Ketika gejolak perlawanan muncul, pendekatan yang dilakukan oleh perusahaan adalah dengan militer, maka yang dilakukan pastinya berujung kekerasan dan intimidasi. Jika hal-hal demikian dipelihara, maka akan menambah panjang potret buruk perusahaan di Papua.

“Cara-cara itu harus dihentikan, karena tidak akan menyelesaikan soal hari ini di masyarakat, jika itu terus dibiarkan maka akan menambah panjang kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan negara terhadap masyarakat adat di Papua” ucap Sabata Rumadas Staf Jerat Papua.

Harapan

Wirya Supriyadi berharap agar ke depan perlu sinkronisasi tentang semua pembangunan yang akan dilakukan oleh penguasa dan pengusaha harus melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat. Koalisi JangRampasT juga sedang mendorong kerja-kerja advokasi dalam bentuk kampaye perampasan lahan di tingkat lokal, nasional dan internasional, mendorong adanya proses litigasi dan non-litigasi terhadap proses-proses investasi yang merugikan masyarakat adat di Tanah Papua.

“Kami (JERAT Papua), sedang bekerja di 10 kabupaten di Papua dan Papua Barat dalam melakukan riset perampasan lahan dan mendorong temuan kasus-kasus untuk diselesaikan di pengadilan dan di luar pengadilan” ucapnya. (Nesta /Ronald )

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here